Sang Penyihir

Call Me W
Chapter #2

Dua Garis Kehidupan


Sementara itu, di rumah utama tampak ramai. Para pembantu berkumpul tak jauh dari kamar Diana. Segera mendekat atau melesat pergi saat Bidan Susi atau Mbok Lasem memerintahkan ini maupun itu.

Suara Diana yang sedang dalam proses persalinan membahana. Didampingi oleh Den Raharjo, sang suami dengan amat telaten. Memberi dukungan pada sang istri agar lebih kuat dalam mengejan. Tentu sesuai arahan Bidan Susi. Sedangkan Mbok Lasem telah mempersiapkan segala sesuatu dengan begitu rapi dan cermat. Siap menyambut si jabang bayi.

Agak jauh dari bangunan utama yang modern, sebuah rumah panggung dari kayu jati tampak berpendar kemerahan. Bukan dari cahaya lampu listrik, karena rumah itu hanya disinari oleh beberapa lentera. Mirip dengan keadaan hunian jaman dulu. Namun, tetap bersanding serasi dengan bangunan megah di depannya.

"Jangan biarkan Raharjo tahu kalau di rumah belakang ada kejadian itu!" ujar Nyai Ajeng Chitra Amartini atau biasa dipanggil dengan Nyai Ajeng. Bendoro alias majikan paling tinggi yang ada di keluarga Amerta saat ini.

"Baik, Nyai!"

"Jaga pintu gerbang. Barangkali si Dirto akan kembali lagi," lanjut Nyai Ajeng sembari mengelap sebuah kotak kaca dengan begitu hati-hati. "Kelahiran cucu perempuanku tidak boleh diganggu oleh siapapun. Jika dia berulah, hajar saja. Aku akan melindungi kalian."

"Baik, Nyai!"

Penjaga yang diperintah oleh Nyai Ajeng pun segera pamit undur diri. Berbisik-bisik sebentar pada rekannya yang menunggu di depan pintu. Tak lama kemudian, keduanya pergi dari sana.

Sepeninggalnya kedua penjaga itu, Nyai Ajeng menghentikan aktifitasnya mengelap kotak kaca. Yang didalamnya terdapat sebuah mustika berwarna kemerahan. Besarnya sendiri sekepal tangan orang dewasa yang sesekali berpendar-pendar.

Mustika Jiwa.

Begitu ayah dan kakeknya pernah berkata. Sebuah pusaka dari leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Tidak boleh dijual maupun dialihkan. Karena mustika tersebut mampu membawa berkah bagi keluarga mereka - Amerta.

Apalagi kalau ada keturunan perempuan yang mampu mengaktifkan kekuatannya. Membangunkan nyawa sang mustika yang sudah tertidur sekian lama. Dari yang beliau dengar, sang pemilik bisa melakukan apa saja melalui bantuannya.

"Aku yakin, inilah saatnya. Begitu bukan, Nyai?" ucap Nyai Ajeng seolah-olah pada diri sendiri.

Padahal, ada sosok lain yang ada di ruangan itu. Sosok yang hanya bisa dilihat oleh Nyai Ajeng seorang. Ialah sosok wanita yang berpakaian seperti penari jaman dahulu. Lengkap dengan selendang dan berdiri anggun dekat lemari jati.

"Ya. Sebentar lagi," kata sosok itu lembut.

"Kalau nyawa dalam mustika ini bisa dibangunkan kembali, apa yang akan terjadi?" tanya Nyai Ajeng dengan wajah berseri-seri.

"Sang pemilik akan bersatu," jawab si sosok.

"Apa aku bisa meminta apa saja?"

"Ya."

Nyai Ajeng tampak semakin sumringah.

Lihat selengkapnya