
"Ahhh!" Kusuma memukuli setir mobil sebagai luapan emosi.
Lelaki itu menyalahkan diri sendiri. Kenapa semua menjadi kacau sejak dia kembali? Keluarga dan perusahaan. Semua kacau!
"Ini peringatan terakhir dari buyer Jepang. Jika produk yang kita kirimkan pada shipment berikutnya ada masalah lagi. Maka, mereka akan memutuskan kontrak. Bisa jadi mereka akan beralih ke Vietnam."
Itu kata-kata yang disampaikan oleh Danan, asisten kakaknya yang kini beralih mengabdi padanya. Begitu jelas. Seakan si asisten tepat berada di sampingnya sekarang. Kemudian berbaur dengan rayuan Windi dan bayang wajah kakaknya yang terbaring koma di rumah sakit.
Karena otaknya semakin kacau, Kusuma akhirnya memutuskan untuk berhenti tak jauh dari alun-alun. Tempat di mana kendaraan roda empat diparkirkan. Lebih baik dia istirahat dulu sejenak sambil makan atau minum sesuatu.
Sepusing apapun, dia tidak mau lagi terjebak dalam pusaran air setan yang memabukkan. Cukup itu terjadi beberapa tahun lalu saat hidupnya berada dalam titik terendah. Yakni saat ayah dan ibunya tewas dalam kecelakaan. Sedangkan Windi, kekasih yang begitu dicintai malah memilih kakaknya untuk dinikahi. Meninggalkannya dalam kesebenar-benarnya keterpurukan.
"Banyak amat, Neng, makannya? Ini sudah piring kedua lho," gurau si tukang siomay pada seorang gadis.
Si gadis tidak menjawab. Hanya tersenyum seraya mengulurkan uang sepuluh ribuan. Dalam sekejap, sepiring siomay telah berpindah ke tangannya.
"Maaf, Om." Si gadis yang hendak duduk tanpa sengaja menyenggol lengan seorang lelaki.
"Ya, tidak apa-apa," kata si lelaki yang ternyata adalah Kusuma. Namun, Kusuma seperti merasakan ada getaran aneh saat kulit mereka bersentuhan. Kulit gadis itu begitu dingin dan wajahnya ....
Si gadis segera menunduk. Setelah beberapa saat lamanya dia terpaku pada wajah tampan Kusuma. Dengan kemeja putih yang kancing bajunya dilepas dan ujung kainnya dikeluarkan separuh, lelaki itu seperti memancarkan aura nakal dan tegas pada saat bersamaan.
"Maaf, Om," ucap si gadis sekali lagi.
"Oh, ya. Duduklah," kata Kusuma mempersilakan. Lalu giliran antri untuk memesan siomay yang cukup legendaris di alun-alun itu.
Kusuma juga seolah terkesiap oleh wajah gadis itu yang tampak pucat. Sepertinya gadis itu sedang sakit sampai kulitnya jadi sedingin itu. Tapi, saat dia melirik si gadis yang sedang memakan siomay dengan lahap, tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan. Seperti lemas atau apapun itu.
Selain daripada itu, baru kali ini Kusuma terpaku pada wajah seseorang demikian lama. Padahal, biasanya dia cuek pada tatapan kagum orang-orang pada paras dan postur tubuhnya yang proporsional. Dia sudah terbiasa mendapatkannya. Tapi, gadis ini memang sangat berbeda. Lebih tepatnya aneh.
"Kita jahilin aja tuh cewek!" ujar salah seorang pengunjung. Seraya menunjuk punggung si gadis yang sudah beranjak pergi.
"Aih, ngapain!" sahut teman lainnya.
"Iya. Jangan macam-macamlah sama keluarga Amerta!" sahut lainnya lagi.
Kusuma yang sedang menikmati siomay, langsung tersentak. Bahkan nyaris saja tersedak. 'Keluarga itu lagi!' dalam hatinya berkata. Dengan begitu perlahan dia mengunyah makanannya. Seolah takut suara sedikit apapun dari giginya yang beradu akan mengganggu pendengaran.