Sang Penyihir

Call Me W
Chapter #5

Sang Mahadewi

Sesi pemotretan untuk Ayudia telah usai beberapa menit lalu. Kini digantikan oleh model lain yang berada di-set.

"Andai aja you nggak ambil cuti, mana bisa tuh Lady Ani-Ani nggantiin you shoot di Bandung besok," ucap Dino, si cowok tulang lunak yang menjadi asisten Ayudia.

Ayudia urung berkomentar. Sejenak melirik ke arah cewek yang dimaksud oleh Dino. Dengan gaya yang oke punya, cewek berambut sebahu itu menampilkan beberapa pose terbaik.

"Eike sempet denger kabar dari burung perkutut," si Dino mengibaskan tangannya yang gemulai. "Tuh si Lady Ani-Ani sering dicabein sama Om-om berduit. Ya dari Om-om tajir melintir ini si ngeselin itu bisa jadi model. Jalur instan, Cin."

"Abaikan aja, Ces." Ayudia menghela napas. Mengalihkan pandangan ke arah cermin. Tak tampak seraut kekhawatiran pun pada wajah cantiknya. "Lagian aku nggak begitu tertarik dengan project itu."

"Tapi you kudu tetep waspada, Say," kata si Dino seraya mengemas peralatan make up. "Si ngeselin itu pasti pengen merebut posisi tenar you sekarang."

Ayudia menatap wajahnya dalam cermin. Sesungging senyum melekat di bibir tipisnya kemudian. "Kalau dia berani," gumamnya.

"Say what?" Si Dino menghentikan aktivitasnya.

"Nothing." Ayudia memastikan riasannya sekali lagi. Lalu bangkit dari tempat duduknya. "Yuk, Ces! Udah beres belum?"

"Udah. Yuk! Cap cus, Beib." Si Dino mengikuti langkah Ayudia yang melenggang pergi lebih dulu.

Baru saja keduanya sampai di pintu keluar studio dan hendak menuju parkiran, seorang lelaki muncul dengan sebuket bunga.

"Selamat yo, Ndoro Ajeng Ayudia Chitra Mahadewi Mewangi Sepanjang Hari," pemuda berlogat Jawa Medok itu menyodorkan bunga yang dibawanya.

Ayudia menyilang tangan di dada. Sedikit melengos. "Telat!" ketusnya.

Si Dino yang ada di belakang memberi isyarat lewat kedipan mata. Ditambah dengan gestur menangkup kedua tangan. Sebagai isyarat agar si cowok segera meminta maaf. Tentu agak kesusahan, karena kedua tangannya penuh oleh barang bawaan.

"Aih! Aih! Ayudia seng ayu-ayu dewe. Jangan marah begitu to! Nanti ayunya ilang lho," bujuk si pemuda agar gadis cantik di depannya itu tidak marah lagi. "Aku itu bukannya lupa, tapi ...."

".... Nggak ada waktu, kan? Sibuk?" Ayudia menyela.

Pemuda itu menghela napas panjang. "Ibuku tu sakit, Ayu," ucapnya.

"Oh, ya?" Ayudia segera menurunkan dekapan tangannya. Ekspresi pada wajahnya seketika berubah. Dari yang semula jengkel menjadi terkejut campur iba. "Kenapa kamu nggak ngabarin aku sih, Prul!"

"Lah, jangkrik kamu, Yu!" Si pemuda malah gantian memasang wajah kesal.

Si Dino terkekeh. Sambil memukul pelan bahu Ayudia dari belakang, cowok tulang lunak itu berkata, "You emang perlu diterapi, Nek! Udah tahu doi nggak suka dipanggil begitu."

"Ganteng-ganteng begini kok dipanggil Mbako Semprul! Namaku itu Beni, Ayu. Be-ni!" Si pemuda malah gantian merajuk.

Ayudia hanya nyengir. Lalu menerima buket bunga sebagai tanda sudah tidak kesal lagi. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Ibumu sakit apa?" Ayudia kembali bertanya.

"Asam lambungnya kambuh," jawab pemuda yang bernama Beni itu.

"Banyak pikiran kali, Nek. Utamanya mikirin you yang kagak merid-merid," gurau Si Dino sembari tertawa kecil.

Beni berusaha tak menggubris gurauan seseorang yang berjenis kelamin sama dengannya, tapi beda tabiat itu.

"Atau ... masih ada seseorang yang you tunggu?" Si Dino lanjut menggoda. Sembari melirik Ayudia yang malah menunduk sembari pura-pura menyiumi aroma bunga.

"Sehabis ini, kalian mau pada ke mana?" tanya Beni sengaja mengalihkan pembicaraan. Terlebih setelah melihat Ayudia yang tak merespon godaan si Dino.

"Langsung ke hotel aja. Aku mau istirahat sebelum besok otw pulang kampung," kata Ayudia yang entah mengapa tidak bersemangat. "Kamu ikut pulang kan, Ben?"

Lihat selengkapnya