Sang Peramal

Noura Publishing
Chapter #2

Bab 1: Sejernih Menonton Serial Drama

Tidaklah tepat apabila menggambarkan Sang Peramal sebagai sosok misterius. Sebaliknya, dia seorang periang yang gemar bertandang ke arisan, saat dia biasanya mengomersialkan profesinya itu, menarik selembar dua lembar rupiah dari para ibu yang gelisah mengenai perilaku suami mereka atau masa depan anak mereka atau apakah mereka masih punya harapan untuk menata hidup yang su­dah setipis gelatin.

Namanya Imar Mulyani, lebih suka dipanggil Imar saja, tetapi orang-orang kadung menjuluki dia “Sang Peramal”. “Lebih menge­san­kan begitu,” kata mereka sambil cengar-cengir. Kehadiran Imar dalam acara-acara warga sudah pasti menguarkan hawa yang lebih segar diban­ding kipas-kipas angin yang dipasang. Mendongkrak nuansa yang mu­ram bosan menjadi menggairahkan. Dia suka bersosialisasi. Mene­rima dengan senang hati ajakan siapa pun untuk sekadar mengobrol lewat jeruji pagar, menengok bayi-bayi yang baru lahir, maupun melayat ke rumah orang yang baru meninggal. Itu sebabnya separuh Bantul per­nah berjumpa dengannya.

Bundar bentuk wajahnya, di bawah serumpun rambut pendek yang sudah beruban. Dia suka lesehan sore bersama tetangga sembari mengudap. Kadang kerupuk, kadang arem-arem. Hari ini intip—kerak nasi, esok roti bantal. Tergantung apa yang sedang tersedia di rumah­nya. Bila tidak sedang meramal, dia suka jalan kaki sampai jauh, me­ngenakan sepatu olahraga putih dan celana pendek. Pada Minggu pagi, dia kerap ikut senam bersama di lapangan bulu tangkis sebelah kelurahan.

Profesinya bukanlah rahasia. Radio Yogyakarta pernah mengun­dangnya. Tabloid-tabloid pernah mengulas praktik meramalnya de­ngan sensasi gila-gilaan. Stasiun-stasiun TV nasional tak pernah lupa mewawancarainya setiap akhir tahun karena rasanya kurang leng­kap menyongsong tahun baru jika tidak ditakut-takuti dulu dengan prediksi nasib buruk dan bencana.

Imar sudah menjadi semacam legenda. Orang-orang ke Bantul kebanyakan untuk mencari dia. Seminggu bisa empat kali orang ber­konsultasi kepadanya. Mereka akan menemukannya tengah menyapu dedaunan kering dengan sapu lidi. Sesekali bersiul, menggoda gelatik dalam sangkar yang digantung di plafon teras. Mereka akan berharap menjumpai sosok serupa Baba Vanga atau Mama Lauren, kemudian mereka akan melihat bahwa dia tidaklah terlampau berbeda dengan perempuan berusia 63 tahun lainnya. Memiliki senyum ramah, dengan tubuh berbalut blus kembang-kembang. Dan, ketika dia tertawa, re­nyah kedengarannya. Mereka akan ragu pada mulanya, tetapi setelah sesi pertama, mereka akan memutuskan menjadi klien reguler.

Imar bersedia melakukan sesi sebanyak yang diminta, asalkan bayarannya pas. Ada kalanya seorang klien butuh waktu sehari penuh. Jika sudah begitu, Imar akan menyeduh teh atau kopi, lalu dia akan mengajak kliennya duduk di sebelah jendela. Untunglah klien-kliennya tidak pernah datang berkerumun sampai mengantre, repot dia nanti men­cuci cangkir-cangkir bekas. Lebih beruntung lagi, klien-klien itu selalu datang sendirian, kalau tidak, bisa pecah kepalanya mendengar bermacam-macam kecemasan orang sekali duduk.

Muda, tua. Lelaki, perempuan. Berjas, bergaun. Berambut hitam, berambut perak, terkadang merah jambu. Dari yang ingin tahu nasib finansial sampai yang ingin menilik peruntungan politik. Menakjub­kan betapa orang-orang dari jauh, bahkan dari kota-kota yang mengaku modern nan pragmatis, datang kepadanya. Imar menyuguhi mereka mi­numan hangat, keripik pedas, dan tentu kartu-kartunya.

Satu kali, pernah seorang bocah berkunjung. Anak seorang te­tangga. Mungkin sepuluh atau sebelas usianya, membawa celengan. Bocah itu bertanya, apakah perbuatannya mencuri uang orangtuanya akan mendapat balasan pada masa mendatang. Imar menyambutnya, membuatkannya jeruk peras manis campur es batu. Seperti yang di­minta, dia membacakan ramalannya, menerima celengan itu sebagai pembayaran, dan pulanglah bocah itu.

Imar kadang bercanda, “Nanti kalau rumahku digerebek atau di­bakar, aku buka lapak di emperan mal! Tidurnya di bilik papan!” Ka­tanya kemudian, biarpun suatu hari nanti orang-orang memutuskan untuk menggerebeknya, paling-paling mereka hanya akan menemukan sisir, minyak gosok, lipstik, bedak, pakaian, sepatu, dan beberapa su­venir pesta pernikahan di kamarnya. Mereka bahkan tidak akan me­ne­mukan adanya bau janggal di rumahnya karena dia tidak pernah me­ma­sang dupa ataupun menyemprotkan pengharum ruangan. Tidak juga akan mereka temukan sebangsa kemenyan, patung-patung pemu­jaan, maupun jimat. Hanya kartu-kartu itu. Kartu-kartu Tarot buatan pabrik, berlisensi, beserta sebuah buku panduan penggunaan yang ju­dul pada sampulnya telah mengelupas. Beruntung bukan penggerebek, melainkan klien-klienlah yang terus mengetuk pintu rumahnya.

Jika Imar tidak ada di rumah, berarti tempat praktiknya pindah ke sebuah kedai minum di Jalan Parangtritis. Di sana, orang-orang bisa mendatanginya bergiliran dan dia akan menebar kartu-kartu Tarot untuk mereka. Di kedai itu, dia tidak meminta bayaran dalam rupa uang. Mereka yang minta diramal harus membelikannya minuman. Satu jam, satu gelas. Minuman yang dia inginkan biasanya sirop, terkadang wedang jahe, terserah apa yang dia mau saat itu. Dia kuat minum bergelas-gelas, seolah kandung kemihnya sebesar waduk.

Di kedai itu, Imar mempertontonkan kelihaiannya membuka dan menutup kartu dengan jemarinya yang kuning langsat berke­riput. Kartu-kartu itu seakan merupakan bagian dari dirinya, yang sudah dia hafal setiap lingkar pada tepiannya sampai titik tinta pada pikselnya dan jentik jamur pada permukaannya.

Kartu-kartu itu memikat sekaligus membingungkan. Memikat karena bergambarkan wujud-wujud artistik, indah nan molek. Mem­bingungkan karena bagaimana mungkin kartu-kartu yang biasa saja itu, yang dicetak dengan tangan-tangan mesin, bisa meramal nasib? Klien-klien Imar tidak bisa menahan keingintahuan mereka. Namun, Imar tegas. Dia tidak mengizinkan seorang pun menyentuh kartu-kartunya ketika dia sedang meramal. Pamali, katanya.

Imar tidak pernah lupa tersenyum meski acap kartu-kartunya menunjukkan tragedi. Dia tersenyum saat memberi tahu seorang perempuan yang banyak bicara, “Kamu nanti kena sakit parah. Di lehermu itu!” Dia tersenyum ketika meramalkan seorang lelaki ber­umur 80 yang hendak mempersunting seorang gadis belia, “Bapak bakal cepat mati!” Dia pun membusurkan senyum itu kepada se­orang caleg sambil berkata, “Hartamu bakalan kandas, sama kayak karier politikmu!”

Imar biasa meladeni tiga sampai enam klien dalam satu kun­jungan ke kedai minum kecil itu, lalu dia pulang. Ke rumahnya. Di sudut jalan. Yang dijaga pohon belimbing wuluh di halaman depan­nya. Yang pagarnya dia biarkan menjadi tempat bercokol semak liar. Telah dia miliki rumah itu sejak lama, sejak dia berumur tiga pu­luh­an. Orang-orang di situ sampai lupa kapan persisnya dia datang ke Bantul, yang ada dialah yang ingat siapa-siapa yang datang dan pergi.

Setiap pagi, Imar menjinjing keranjang anyamnya ke pasar, beriringan dengan ibu-ibu yang dia jumpai di perjalanan. Membawa pulang lebih banyak daripada yang dia rencanakan. Kalau ternyata mangga sedang bagus-bagusnya pada musim itu, dia pulang membawa mangga. Jika ternyata durian yang sedang panen, dia membawa durian. Pada bulan Februari, dia membawa pulang kedondong. Pada bulan November, dia membawa pulang berbonggol-bonggol rambutan.

Lihat selengkapnya