Perihal Phil, seorang Tuli asal Queensland, Australia yang bermigrasi ke Indonesia dan kini bermukim di Yogyakarta itu, orang tak ada habisnya bergosip. Keasingannya tak jadi soal. Mau bule atau pribumi, gosip menyasar siapa saja. Asalkan Phil ada di depan mata, dia adalah lalat pada kaca preparat, dijadikan objek para pengamat yang kadang berhati hasad.
Gosip pertama adalah mengenai pendengarannya itu. Penyebab tulinya tak seorang pun tahu karena tak ada yang berani tanya. Barangkali sejak lahir memang seperti itu, tetapi ada pula yang menduga tulinya itu akibat kepalanya terbentur benda keras sewaktu diperiksa petugas imigrasi bandara. Orang lantas menerka apa yang menyebabkan dia dicegat petugas imigrasi. Ada yang bilang dia dicurigai membawa narkotika, ada pula yang bilang dia antek asing. Gosip itu dan segala percabangannya yang liar tak pernah terbukti benar.
Gosip kedua adalah mengenai orang tempat dia menumpang. Warga Bantul tahu orang itu—Pramista, seorang pedagang, punya toko buah tangan di Pasar Beringharjo atau yang seringnya disebut Pasar Gedhe oleh orang Yogya. Toko itu bernama DJAGO. DJAGO pernah diperiksa polisi, pasalnya ada kecurigaan Pramista menyelundupkan barang-barang pasar gelap. Inilah yang kemudian menetaskan gosip ketiga: Phil dan Pramista sebenarnya rekanan sejak lama, berbisnis barang gelap di dalam dan luar negeri. Mengikuti khazanah setempat, “barang gelap” lama-lama jadi “barang haram”. Dari situ, gosip-gosip lain mengalir mudah saja.
Alat bantu dengar Phil yang hanya setengah berfungsi itu kadang mengantarkan gosip-gosip ke telinganya. Itu sebabnya dia tahu bagaimana anggapan orang-orang tentangnya. Dia juga tahu bahwa menanggapi orang-orang seperti itu tidaklah bijaksana karena mereka akan mencari-cari gosip baru yang lebih kejam.
Lima tahun Bantul menjadi tempatnya tinggal. Lima tahun, setelah pengalaman tak mengenakkan di Jakarta, kota pertama yang dipijaknya ketika datang ke Indonesia. Dia telah menggelontorkan tabungannya untuk datang ke negara ini, ajakan seorang kawan dunia maya yang katanya pemilik sebuah tempat kursus bahasa. Datanglah dia, menyewa apartemen mentereng di Sudirman. Sudah yakin dia, sebuah permulaan baru telah terbuka. Dia akan menjadi guru bahasa Inggris seperti yang dijanjikan kawannya itu.
Phil melibas trotoar setiap hari dengan langkah kakinya yang panjang-panjang, melewati para penyapu jalan sambil bersiul-siul mengatasi gugupnya. Siulannya itu terhenti begitu dia melewati bulan keempat, begitu otaknya mencerna banyak kejanggalan di tempat kursus itu. Si bos yang mantan kawan daringnya itu boleh saja menggembleng para karyawannya untuk mendongkrak kinerja mereka, tetapi baru kali itu Phil bertemu seorang atasan yang tak segan membentak para guru di kantor sampai-sampai para murid di kelas merinding mendengarnya.
Phil semakin tidak nyaman ketika tahu bosnya itu menerima guru asal saja, yang penting orang asing. Seorang koleganya waktu itu bahkan ada yang dulunya pembantu rumah tangga, datang ke Indonesia mengikut keluarga majikannya. Tak peduli latar belakangnya, asalkan “Mister Phil” atau “Miss Michelle” punya tampang kebarat-baratan.
Muncul pula masalah gaji. Bulan pertama, Phil mendapatkan bayaran memuaskan, diberikan pada tanggal yang disepakati. Bulan berikutnya memeleset beberapa hari. Bulan berikutnya lagi terlambat dua minggu. Phil sudah nyaris kehabisan uang untuk membayar sewa apartemennya. Berkali-kali sudah dia menekan bosnya agar membayar gajinya. Tuntutan itu terjawab suatu hari ketika dia menjumpai sebuah palang bertuliskan TUTUP menyegel pintu tempat kursus tersebut. Pemiliknya yang keparat itu lenyap jejaknya. Phil, sebaliknya, tidak dapat segera menghilang karena keberadaannya terlacak oleh Dirjen Imigrasi.
Jadi, gosip tentang itu ada benarnya, tetapi bukan ditangkap di bandara, dan bukan karena dicurigai menyelundupkan narkotika. Salah Phil hanya satu: tidak memiliki KITAS. Karenanya, ilegal jika dia bekerja di perusahaan-perusahaan dalam negeri, sekalipun yang kaleng-kaleng seperti rumah kursus milik kawan daringnya itu. Pokoknya, menurut orang-orang imigrasi, dia adalah binatang buruan berdarah segar.
Seandainya Phil tidak bertemu Pramista dalam perjalanan melarikan diri ke Yogya, mungkin dia sudah mati. Rencana mati sempat mampir di kepalanya sebelum melihat wajah Pramista di sebelah bahunya. Lelaki itu menawarinya keselamatan, tawaran untuk bekerja di tokonya, di sebuah pasar di Yogya. Phil terpikat meski mulanya ragu. Setelah dua jam berbincang di dalam gerbong kereta, akhirnya Phil sepakati juga kerja sama itu.
Suatu malam, di sebuah jalan sepi, Phil turun dari sebuah minivan. Kendaraan yang disetirnya itu barusan oleng, nyaris menabrak sebuah poskamling terbengkalai. Dia berjongkok, mendapati sebatang kayu berpaku menancap pada ban belakang sebelah kanan. Sebagai pelampiasan, dia menendangi ban yang sudah loyo itu, bertubi-tubi sampai sandalnya penyok sedikit. Bukan paku itu yang membuatnya marah, tetapi ban kempis itu membuatnya teringat bahwa nasibnya selama ini tak jauh-jauh dari kata sial.
Paku itu menancap kuat, sukar untuk mencabutnya dalam gelap. Padahal jarak ke rumah masih jauh. Terpaksa dia harus memanggil Pramista keluar, meminta lelaki itu membawa troli untuk mengangkut barang-barang muatan. Tidak banyak, tetapi juga tidak sesedikit rengkuhan tangannya. Dia mengirim pesan pendek kepada Pramista dengan smartphone-nya, lalu melepas alat bantu dengarnya. Dia menunggu.
Phil punya keistimewaan, tidak ada yang tahu itu. Tentang telinganya. Pendengarannya rusak akibat sebuah kecelakaan sebelum bertemu Pramista. Saat itu, dia berada di eskalator sebuah mal. Tiba-tiba barisan orang di belakangnya menjadi riuh. Seseorang berlari menerobos, barangkali dia terlambat atau habis mencopet. Orang itu menabraknya, menyebabkan dia terdorong hingga jatuh berguling menuruni undak-undak berjalan. Kepalanya terbentur di dasar. Tidak ada gegar otak, hanya seberkas cedera yang samar-samar masih tampak jika dia menyugar rambutnya. Namun, dia menjadi tuli.