Labirin Kenangan
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul satu dini hari saat Hazil termenung di depan komputernya. Kaca jendela tampak berembun imbas dari hujan yang mengguyur Kota Lahat satu jam yang lalu. Hampir tiga minggu tak ada hujan sama sekali, membuat tanah di halaman rumahnya kering kerontang dan membentuk pola retakan heksagonal tak sempurna. Malam ini hujan mengguyur Kota Lahat begitu deras dan segalanya terasa hening. Hazil termenung di depan meja kerjanya. Sekarang segala sesuatu tampak tidak menarik di matanya. Sebuah memori kelam sedang menyesaki kepalanya. Ini semua adalah tentang Nayla dan Zetta. Dua orang wanita yang paling dicintainya di bawah kolong langit ini. Pertama adalah istrinya. Kedua adalah putri semata wayangnya. Keduanya meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal saat sang istri menjemput putrinya pulang sekolah.
Hazil telah lazim berdamai dengan kesedihan. Namun, belum pernah ada yang sepahit ini. Kehilangan istri dan anak pada hari yang sama adalah pukulan berat yang tak pernah ia duga akan terjadi. Sejak peristiwa itu, ia seperti kehilangan semangat hidup. Kesedihan yang berlarut-larut membuat produktivitas kerjanya terganggu. Seminggu yang lalu ia menerima surat peringatan pertama dalam riwayat kariernya di perusahaan ini.
Waktu terus bergerak dan bergerak pula semua yang terpaut dengannya. Tapi tidak dengan kenangan pahit itu. Tiga ratus enam puluh hari telah berlalu dan ia masih belum merelakan kepergian istri dan anaknya. Ia terjebak dalam labirin kenangan tentang hari naas di mana ia menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya, saat putrinya meregang nyawa di ruang Unit Gawat Darurat. Adapun sang istri telah meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit.
Saat itu, tatapan putrinya tak pernah lepas darinya. Ia tak lagi mampu berkata-kata, hanya bisa menatap. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Entah apa. Mungkin putri mungilnya itu sedang memandang sesuatu yang lain alih-alih menatapnya. Hazil bergidik. Kengerian bercampur harapan menggelegak dalam batinnya. Ia telah kehilangan istrinya dan tidak siap bila harus kehilangan putrinya pula. Apa pun itu, Hazil tahu bahwa putrinya sedang menanggung rasa sakit yang luar biasa.
Di detik-detik terakhir, Hazil harus menelan kenyataan pahit yang sejak tadi ia tolak sekeras mungkin. Pena takdir menuliskan ketentuan bahwa sang putri harus kembali kepada Tuhannya beberapa menit sebelum azan asar berkumandang. Sejak saat itu, ia merasa semua hari adalah hari itu.
Kini Hazil tinggal seorang diri di rumahnya yang sunyi bersama segala aktivitasnya yang terasa hambar. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Tangannya seperti memiliki kehendak sendiri. Ia membuka sebuah file dan tidak tahu apa yang ia cari di dalam file itu. Sejak peristiwa itu, Hazil sering tidak tahu mengapa ia melakukan sesuatu. File itu berisi kumpulan foto-foto wisudanya bertahun-tahun yang lalu. Matanya menatap lekat foto-foto itu, tapi lamunannya justru terbang ke masa yang jauh lebih awal.
Saat itu, di sebuah ruang kelas, beberapa puluh orang berpakaian kemeja putih dan celana dasar hitam sedang duduk mendengarkan kuliah pertama mereka. Kuliah ta’aruf namanya. Hazil tersenyum kecut. Ia teringat, di masa kecilnya dulu orang dengan pakaian seperti itu adalah sales panci. Ia memalingkan wajahnya keluar jendela, menyaksikan sekawanan kerbau yang sedang asyik menikmati makanan mereka. Kenapa di sini banyak kerbau, ya? tanyanya membatin.