Sebuah sore yang indah. Satu lagi hari berlalu dan Hazil masih berputar-putar dalam labirin kenangannya. Kali ini dari sebuah ketinggian. Ia memandang deretan bukit berwarna biru keunguan dan tentu saja yang paling menarik baginya adalah Bukit Jempol. Pemandangan sore itu menerbangkan jiwa rapuhnya ke alam antah-berantah. Ke sebuah kesunyian yang tak dapat dijelaskan.
Hazil menghirup dalam-dalam udara segar khas dataran tinggi bersama kicauan burung liar dan desauan air terjun kecil tak jauh dari tempatnya berdiri.
Kalau saja Zetta masih hidup, tentu ia akan sangat senang kuajak kemari, batinnya. Ia tersenyum membayangkan wajah polos dan gigi-gigi kecil anaknya saat tertawa. Bukankah semua yang berawal memang akan berakhir? Hampir saja suara batin itu menjelma menjadi ucapan.
Hazil mengeluarkan ponselnya dan mulai membidik Bukit Jempol. Ia mengambil beberapa gambar dan merekam suasana senja di mana ufuk barat memancarkan rona kuning keemasan. Ia beruntung karena saat ia mengambil gambar, seekor burung elang melintas di atas bukit membuat hasil jepretannya semakin eksotis.
Hazil kembali membidik berbagai objek tanpa menyadari bahwa di sebelah kanannya terdapat setangkai mawar liar sedang merekah. Hazil baru menyadari keberadaan mawar itu saat kunci motornya terjatuh.
Indah sekali mawar ini, batinnya.
Mawar itu mengingatkannya pada suatu hari di mana ia mencoba meluluhkan hati Nayla dan ia berhasil. Nayla, wanita yang telah memberinya satu anak dan kini meninggalkannya. Bayangan wajahnya kembali memenuhi ruang memorinya.
Pidato penutupan pelatihan jurnalistik dengan tema jurnalisme sastrawi adalah awal bertahtanya cinta dalam jiwa Hazil. Ia telah mengenal Nayla sejak lama. Tepatnya sejak hari pertama ia belajar di kampusnya. Saat pelatihan jurnalistik berlangsung, mereka telah memasuki semester enam. Intensitas pertemuannya dengan Nayla dalam berbagai kegiatan di kampus telah menyadarkan Hazil akan keanggunan dan kecantikannya. Ia telah jatuh cinta kepadanya tanpa pernah menyadari bahwa kelak cinta itu akan menyiksanya begitu rupa.
Nayla naik ke podium, memulai pidatonya. Hazil tidak mengingat apa pun tentang isi pidato Nayla, selain kisah wartawan perang yang tersesat di padang pasir.
“Baiklah teman-teman, sebelum saya akhiri, izinkan saya menyampaikan sebuah kisah. Kalian tentu masih ingat peristiwa invasi terhadap Irak oleh Amerika Serikat beberapa tahun lalu, bukan? Di balik hebohnya pemberitaan mengenai agresi militer itu, sayup-sayup terdengar kisah tentang tiga orang wartawan perang yang tersesat di padang pasir. Sebut saja nama mereka John, Richard, dan Josef. Kondisi mereka yang memang sudah sulit itu diperparah dengan habisnya persediaan air. Mereka berjalan ke sana dan kemari mencari air, tapi tidak menemukannya. Puncaknya, mereka bertiga kehabisan tenaga dan terkapar satu per satu di atas pasir panas itu. Sebelum kesadaran mereka benar-benar habis, John yang sedang sekarat menuliskan sesuatu di atas pasir: Kami telah mencari air, tapi tidak menemukannya. Di sini, mungkin kami akan mati.”
“Sesaat kemudian matanya terpejam. Ia pingsan. Richard dan Josef hanya bisa meneteskan air mata dan tak butuh waktu lama mereka juga pingsan.”
“Entah sudah berapa lama mereka pingsan. Hari telah senja saat kesadaran mereka pulih kembali. John seolah melihat oase air di kejauhan. Richard dan Josef juga melihatnya. Namun, mereka sepakat untuk menyerah.”
“Itu fatamorgana kawan! ujar Richard. Namun, John tidak menggubris seruan Richard. Dengan langkah gontai, ia berjalan penuh harap ke arah oase itu. Siapa sangka, apa yang tadi dilihatnya ternyata bukan fatamorgana, tetapi memang sebuah sumber air. Orang Arab biasa menyebutnya wadi—mata air di padang pasir. John memamerkan temuannya. Ia menghambur-hamburkan air itu ke udara. Bagaikan mendapat injeksi energi baru, Richard dan Josef yang tadi sepakat untuk menyerah tiba-tiba bangkit dan berlari ke tempat itu. Mereka segera meluapkan segala hajat mereka terhadap air. Mereka minum, mandi, dan mencuci pakaian mereka.”
Hazil masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan Nayla, tapi sejauh ini semuanya terdengar menarik.
“Setelah kondisi tubuh mereka kembali pulih, John mencabut belati yang terselip di pinggangnya dan menuliskan sesuatu di atas batu: Di sini kami menemukan air dan di sini kami hidup kembali!”
“Josef bertanya, apa maksudmu dengan semua ini kawan? Ia menjawab, itulah yang selalu ingin kulakukan. Saat aku mendapatkan kesulitan, perlakuan buruk, atau apa saja yang tidak menyenangkan, aku ingin menuliskannya di hatiku seperti aku menulis di atas pasir yang muncul sejenak lalu hilang diterpa angin. Tapi saat aku mendapatkan kemudahan, sambutan hangat, dan perlakuan baik dari orang lain, akan kutulis di hatiku seperti aku menulis di atas batu yang tak akan hilang walaupun diterpa hujan dan angin.”
“Nah, teman-teman, saya selaku ketua panitia sekaligus mewakili seluruh panitia ingin mengatakan, bila selama kebersamaan kita sepekan ini ada kata-kata atau tindakan kami yang kurang berkenan, tulislah semua itu di hati kalian seperti kalian menulis di atas pasir yang muncul sejenak lalu hilang bersama angin. Namun, bila selama sepekan ini ada kenangan manis yang kalian ingat atau manfaat yang kalian ambil, tulislah itu di hati kalian seperti kalian menulis di atas batu yang tak akan hilang walau diterpa hujan dan angin. Terima kasih,” pungkas Nayla yang disambut tepuk tangan riuh seluruh peserta.
Siapa sangka, pidato itu benar-benar menjadi awal bersemayamnya jutaan kenangan manis di hati Hazil, sebelum akhirnya maut memisahkan keduanya.
Sepekan berlalu sejak peristiwa itu. Selama itu pula, Hazil menyusun rencana untuk mendekati Nayla. Ia berpikir keras dan berkontemplasi. Di puncak kontemplasinya, Hazil mendapatkan ide untuk melancarkan agresi cintanya. Ia menyebutnya L’opération Barbarossa pour Nayla. Terdengar ngawur dan asal-asalan. Namun, kalimat itu sesungguhnya memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Maknanya, ya, ngawur itu tadi. Ia menghubungi Nayla melalui pesan singkat, berpura-pura hendak meminjam novel dan membuat janji pertemuan di perpustakaan. Pada hari yang telah disepakati, Hazil datang sepuluh menit lebih awal dan Nayla datang tepat waktu.