Sang Petarung

Zulfan Fauzi
Chapter #1

Pena yang Kehabisan Tinta

Langit benar-benar merasa dunianya gelap, pandangannya meremang, ia bagaikan ikan yang gelagapan karena terdampar di daratan. Semesta tempat ia tinggal seakan kiamat, ada tabrakan antar planet yang mengacaukan tata surya. lebih parahnya lagi Bumi sedang mengalami kritis karena efek tabrakan meteor sebesar dua kali ukuran Singapore jatuh di Laut Cina Selatan. 


Namun, bukan itu. Ada yang lebih mengerikan dibanding bumi mendapatkan serangan alien dari antariksa yang jauh atau tiba-tiba saja kebangkitan monster kuno yang berniat menguasai bumi. 


Langit, pemuda yang kegiatan sehari-harinya hanya kuliah dan memiliki hobi menulis kini sampai di titik terendah hidupnya. Sang Ayah tiba-tiba meninggal karena serangan jantung dua bulan yang lalu. Kini ia hanya tinggal bersama ibu dan kedua adiknya. Sebagai anak tertua tanggung jawab sebagai kepala keluarga ia ambil alih. 


Statusnya sebagai mahasiswa baru pun ia lepas, ia memilih cuti dari kegiatan kampus hingga kondisi keuangan keluarga menjadi lebih stabil. Ia kini melanjutkan usaha yang diwariskan sang ayah yaitu toko beras, kegiatan sehari-harinya kini adalah menjaga toko beras. 


Mimpi-mimpinya memudar namun tanggung jawab harus ia ambil, karena para pejuang yang tangguh lahir dari peperangan yang panjang & melelahkan. Maka legenda akan dituliskan. 


***


Sinar matahari menjalar lembut pagi itu di kulit Langit, jendela kamarnya sengaja ia biarkan terbuka sepanjang malam. Malam tadi ia merasa sulit tidur, entah sejak kapan ia mengalmi insomnia. Ia sendiri lupa, yang ingat sepanjang malam tadi ia hanya sibuk meratapi nasib buruknya. 


"Takdir Tuhan siapa yang tahu?" Langit mendesah sembari merasakan cahaya matahari merambati kulitnya yang memucat. 


Setengah tahun yang lalu adalah puncak masa muda dalam hidupnya, ia menjadi mahasiswa di universitas terbaik di daerahnya. Masa-masa awal kehidupan mahasiswanya pun menyenangkan, tidak ada hal buruk yang terjadi. Ia kuliah di kampus yang ia inginkan, berkawan dengan orang-orang yang baik, dan tentu masa depan yang menjanjikan. Karena para lulusan kampus tersebut selalu berhasil menjadi orang penting di daerah tempat ia tinggal. 


Langit memejamkan matanya sebentar, ia gunakan lengannya sebagai penutup mata. Sementara di luar kamarnya terdengar suara ibunya yang sedang berada di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, harum nasi goreng menyeruak di udara, di seluruh rumah bahkan masuk ke kamar Langit yang pintunya tertutup. 


Adiknya Nada dan Lagu akan berangkat ke sekolah pagi ini. Seperti biasa mereka akan membawa kue buatan ibu mereka yang akan dititipkan ke kantin sekolah. Rutinitas menitipkan kue sekarang seakan ritual setiap pagi untuk kedua adiknya Langit. Jalur kehidupan mereka sekeluarga berubah semenjak tiga bulan lalu ketika ayahnya mendadak terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal. 


Duka itu masih terasa, namun tanggung jawab harus mereka ambil. Sebagai anak tertua dan sebagai seorang laki-laki, ia kini adalah seorang kepala keluarga. Bahkan kedua adiknya kini tak semanja dulu lagi, mereka kini tak lagi didewasakan waktu. Keadaanlah yang mendewasakan mereka. 



"Langit, bangun nak! Ayo sarapan dulu". Ibunya Langit setengah berteriak. 


Sinar matahari menerobos semakin dalam ke tiap sudut kamar Langit. Kamarnya kini terasa lebih benderang, sinar matahari pun tak terasa lembut lagi seiring waktu yang terus beranjak. Kulitnya kini mulai terasa terbakar, perlahan lengan yang ia letakkan menutup matanya ia angkat. 


Langit mengerjapkan matanya, ia mencoba menyesuiakan keadaan. Cahaya yang benderang seakan membutakannya, sejenak ia berusaha membiasakan dirinya. Mata Langit kini sudah mulai terbiasa dengan cahaya dan ia kini sudah bisa melihat dengan jelas. 


"Kak Langit !!!" ujar Nada dengan suaranya yang tinggi. 


"Bangun kak, sarapan dulu!" sambung Nada adiknya yang paling bungsu dan baru saja masuk kelas satu Tsanawiyah tersebut. 

Lihat selengkapnya