Sang Petarung

Zulfan Fauzi
Chapter #2

Menulis di Lembaran Baru

  Langit berdiri kokoh, ia bagaikan karang yang akan menerjang ombak. Matanya menatap tajam lurus ke depan, tangannya merentang seakan siap untuk menyambut serangan. Kakinya menekuk rendah namun terlihat santai. Ia tersenyum, sedangkan lelaki berjaket kupluk berwarna coklat menatapnya tajam dan menunjukkan seringai di wajahnya alih-alih senyuman. 


 Seringai seakan memperjelas luka di wajah lelaki berjaket kupluk tersebut. Ada rasa ngeri yang menyebar di udara, orang-orang di sekitar mereka hanya terdiam. Semua orang membeku melihat Langit dan lelaki berjaket kupluk tersebut saling berhadapan. Suasana ramai pasar tak lagi bisa didapati, tak ada kicau burung, kokok ayam, atau suara tawar-menawar seperti di hari biasa. 


 Keheningan kala itu, saat Langit dan lelaki berjaket kupluk berhadapan adalah keheningan laksana kuburan di tengah malam. 


 Keheningan saat itu bagaikan keheningan hutan perawan di pedalaman Kalimantan. Ketika tanah harus dibasuh dengan darah.


 Keheningan di detik itu adalah lautan yang tenang sebelum badai datang menerjang. Angin mendesir, orang-orang terdiam, detak jantung yang berdegup kencang. 


 Lelaki berjaket kupluk menunjukkan wajahnya yang bengis, perlahan di saku jaketnya ia mengeluarkan pisau. Tangan kanan lelaki itu kini memegangi pisau sepanjang 50 cm. Pisau itu berkilatan terkena sinar matahari yang terik, pandangan orang-orang di sekitar mereka nampak silau karena pantulan ketajaman pisau itu dan kini mereka hanya sanggup menelan ludah.


 Sementara di sudut lain Mamah dan kedua adiknya Langit hanya bisa berpelukan melihat momen yang bagaikan adegan film ini. Nada, memeluk erat tubuh sang mamah, sementara Lagu nampak lebih tegar ia berdiri kokoh laksana sang kakak namun jemari tangannya menggenggam erat tangan sang ibunda. 


 Langit meludah ke sisi badannya kemudian tersenyum. Ia sudah bersiap untuk momen hari ini, ia telah menunggu begitu lama. Lelaki berjaket kupluk dan sebilah pisau di tangan takkan menakutkannya lagi, dirinya yang dulu telah lama tiada. Sosok Langit yang badannya gemeteran, terduduk di pasar yang becek dan berlumpur telah lama mati. Mayatnya telah terkubur di lumpur dan tanah bersama rasa malu pula rasa takut. 


 Kematian hanyalah bagian dari fase kehidupan. Kini Langit telah lahir kembali, ia bangkit dari kematian. Ia bagaikan Phoenix sang burung api yang terlahir kembali dari tumpukan abu. Matanya nyalang dan tangannya menggenggam amarah.


"Aaagrhhh...!" Sebuah teriakan menggema di udara yang tercemar rasa takut. Keheningan pun akhirnya pecah, bagaikan gelas yang terjatuh dan hancur berkeping. 


 Lelaki berjaket kupluk itu menyerbu, menyerang dengan ganas menuju ke arah Langit yang hanya berdiri diam. Lelaki berjaket kupluk itu kini telah menjelma badai, tangan kanannya yang memegangi pisau bagaikan gelombang tsunami yang akan meluluhlantankknan pantai. 


 Tusukan demi tusukan berganti bagaikan ombak yang saling menyapu pantai. Ketika pisau di tangan lelaki berjaket kupluk itu menuju ke arah perut Langit. Pisau itu sudah siap untuk merenggut nyawa, ia haus akan darah yang tertumpah. 


 Namun di detik berikutnya, ketika pisau lelaki itu siap menusuk perut Langit. Ia hanya menemui ruang kosong, hanya udara yang dipenuhi rasa cemas mengawang di udara. 


 Sesaat sebelum pisau di tangan lelaki itu menusuk ke arah perutnya, Langit memindahkan posisi badannya ke samping. Membiarkan pisau itu masuk menerobos ruang kosong yang ia tinggalkan. 


 "Aarghh... Cih!" Lelaki berjaket kupluk itu meludah, Amarahnya memuncak karena tusukannya tak menghasilkan apapun. 


 Pisau di tangannya ia sambarkan ke arah samping secara membabi-buta, tempat di mana Langit menghindari serangannya yang pertama. 


 Mendapat serangan mendadak seperti itu, secara reflek Langit memundurkan langkah kakinya beberapa tindak. Kini Langit lebih serius menghadapi lelaki berjaket kupluk tersebut. Kini kuda-kuda yang ia gunakan bukan lagi kuda-kuda untuk menerima serangan, kali ini ia dengan segenap hati akan melancarkan serangan. 


 Langit memandang ke arah samping, tempat di mana mamah dan kedua adiknya berada. Lagu dan juga Nada saling berpegangan dengan erat, Langit tersenyum kepada kedua adik dan bundanya. Sementara sang mamah mengangguk seakan memberikan restu untuk ia melawan balik. 


 Kilatan demi kilatan pisau yang ditebas dan ditusuk secara serampangan karena terpaan sinar matahari merebak di udara bagaikan petir yang sambar menyambar. 


 Keheningan menggantung di udara ketika sebuah tebasan pisau tepat mengarah dada Langit kali ini. Semua orang yang melihat meneguk ludah dan tak berani memejamkan mata, karena takut kehilangan momen yang bagaikan cuplikan film laga ini. 

Lihat selengkapnya