Dingin yang terasa menggiggit merasuk ke sumsum tulang, namun peluh terus saja mengalir deras. Pagi itu ketika kabut terjatuh pelan-pelan bagai selendang yang tertiup angin, Langit terengah-engah. Nafasnya beruap pertanda bahwa tubuhnya sudah membakar banyak kalori dalam dirinya.
Cahaya di angkasa memendar, matahari muncul dengan perlahan. Temaram kuning merebak, namun udara masih sedingin pagi di awal tadi. Langit memaksakan dirinya untuk berlari setengah kilometer lagi, matanya melihat banyak warna yang melayang di udara. Detak jantungnya memompa aliran darah lebih cepat, kapasitas paru-parunya sedang dipaksa untuk bertransformasi.
Langit seakan melihat banyak kunang-kunang beterbangan di udara pagi itu. Ia merasakan rasa nyeri yang teramat pekat di kakinya, asam laktat mengumpul di kedua kakinya. Kini ia hanya sanggup berjalan perlahan, kaki dan tubuhnya ingin berkhianat. Mereka ingin menolak perintah otak yang bertindak sebagai jenderal, mereka tak ingin patuh pada perintahnya. Tubuhnya berupaya untuk berontak dengan mengirimkan pesan bahwa tubuhnya Langit memang sudah tak sanggup lagi.
Hanya beberapa ratus meter lagi, begitu yang terus diyakinkan Langit. Hatinya begitu kukuh berbisik di kepala Langit, bahkan ketika perintah otak sudah mulai diabaikan oleh tubuh. Seluruh bagian tubuh dalam dirinya sudah mengirim pesan kepada Langit, bahwa kini sudah saatnya beristirahat dan duduk santai.
Suatu sudut, di dalam dada Langit. Ruang tak bernama yang tak pernah diakui ada oleh para ilmuwan itu. Bersemayam makhluk mitos bernama hati, di antara degup jantung yang beralun lembut itu. Hatilah yang bertanggung jawab untuk terus membisikkan hal-hal baik dan buruk, akan tetapi langkah-langkah kaki Langit terasa semakin berat.
Namun, entah bagaimana seakan ada alunan lembut piano yang mengalir halus dari benaknya, kemudian menjalari tubuhnya dengan kehangatan. Kali ini, hatinya berbisik memberi semangat seakan mengambil alih tugas otak.
Seratus meter terakhir kini ada di hadapan, pandangan Langit kini terasa benderang. Kumpulan kunang-kunang yang sedari tadi melayang kini menghilang entah kemana. Kemudian entah darimana tenaga yang hanya sisa puing itu kini menjelma bagai candi yang muncul dalam semalam. Langit berlari sekencangnya, sekuat tenaga di seratus meter terakhir itu.
Kini Langit rebah, kulitnya meresapi belaian angin dingin dan hangatnya sinar matahari pagi. Ia muntah, semua isi dalam perutnya pun tumpah. Pagi itu Langit telah sampai pada batasnya, ia lari sepanjang dua kilometer untuk kali pertama.
***
"Bro, semangat bener sih?" Tanya Herman sambil matanya melirik para gadis-gadis yang sedang nongkrong makan pentol di pinggir jalan. Langkah kakinya ia seret dengan paksa untuk bisa mengimbangi Langit.
"Eh... Kemarin aku melihat orang-orang latihan tinju lo!" Ujar Langit di sela-sela nafasnya yang terengah-engah.
"Apa?" Herman memandang Langit dengan wajah keheranan, sementara itu nafasnya sendiri terasa semakin berat.
"Tinju.. bro, aku ingin ikut latihan Tinju." Langit berucap mantap.