Sang Petarung

Zulfan Fauzi
Chapter #4

Mengisi Gelas yang Kosong

 Pagi itu hujan datang dengan tiba-tiba setelah adzan subuh berkumandang, Langit yang mulai terbiasa untuk jogging di pagi hari pun hanya bisa terdiam di kamar sehabis shalat subuh. Jendela sengaja ia buka, Langit membiarkan udara pagi yang dibasuh tetesan hujan itu memenuhi paru-parunya. 


 Seharusnya pagi ini ia akan lari sepanjang dua kilometer lagi. Namun, hujan masih turun dengan derasnya. Langit meletakkan kursi di dekat jendela, ia merasakan tempias hujan di tubuhnya. Sekumpulan rambut kecil di tubuhnya meremang, rasa dingin yang diakibatkan angin dan tempias hujan itu seolah membawanya ke masa lalu. 


 Harum tanah yang basah karena hujan dapat melegakan simpul-simpul syaraf. Langit menjulurkan kepalanya keluar dari jendela, lalu tangannya ia tadahkan seakan ingin menampung tetesan hujan itu dengan telapak tangannya. Hujan belum jua reda, dalam hati Langit membatin. 


 Di tahun-tahun yang jauh, Langit menjadi terkenang. Saat hujan seperti hari ini, ia biasanya akan menulis banyak hal. Langit akan menulis tentang kehidupan, pahitnya perpisahan, cinta yang tak sempat dikatakan, cinta yang tak berbalas. Rintik-rintik hujan itu laksana kumpulan harmoni denting, petikan dan alunan alat musik yang bersatu padu, yang menumbuhkan inspirasi baginya. 



 Untuk setiap cinta yang tak sempat dikatakan, pada setiap cinta yang tak berbalas. Hujan menjelma bagai penanda, seperti sebuah tapal batas untuk setiap perjalanan. Untuk setiap kenangan yang tertinggal di tapal batas, hujan juga rupanya bisa menjelma menjadi mesin waktu. 


 Akan tiba pada waktunya nanti, ketika hujan turun dan kau merasa diseret-seret olehnya ke masa lalu. Lalu kau akan kembali tertawa akan sesuatu yang pernah ada, kemudian di detik berikutnya sesungukan meneteskan air mata. Kau menggila hanya karena hujan yang datang tiba-tiba. 


 Pagi itu ketika hujan datang tiba-tiba dan Langit tak bisa lari pagi. Suasana yang begitu melenakan sehingga bisa saja kau akan akan memutuskan untuk tetap berselimut di ranjang hingga hujan reda. Di dapur terdengar bunyi mamah yang sedang memasak, dan kedua adiknya Langit yang sedang sibuk membantu sang mamah menyiapkan kue yang akan mereka antar ke kantin sekolah. 


 Deraan angin yang bertiup dingin itu membuat tubuh Langit menggigil, namun tak menyurutkan dirinya untuk melepaskan baju kaosnya itu. Ia menatap cermin, mencoba menelaah citra yang muncul di sana. Tubuh dengan kulit yang memucat karena jarang tersentuh matahari, lengan dan bahu yang kurus, postur tubuh yang membungkuk karena salah cara memanggul tas.


 Kini Langit mengambil posisi untuk push up, kedua lengannya yang kurus bergetar. Angin masuk dari jendela yang terbuka menebar rasa dingin di kulitnya. Perlahan tubuh Langit turun dengan kedua lengan menopang tubuhnya, kemudian dengan perlahan lagi kini tubuhnya ia angkat. "Satu," ucap Langit perlahan di sela-sela nafasnya yang terengah-engah. 


 Diulangnya lagi gerakannya itu, dengan lengan yang begetar karena menopang berat badannya, Langit meneruskan push up dan hitungannya. Ia sudah bertekad setidaknya pagi ini, ia harus melakukan push up sebanyak sepuluh kali. Di hitungan kelima tangannya seakan mati rasa, tubuhya kini sudah tak membentuk postur yang tepat untuk push up. 


 Bukankah ia pemula, push up sebanyak lima kali adalah hal yang sudah luar biasa. Langit berhenti sebentar, tubuhnya terasa sakit, tangan dan bahunya terasa sangat nyeri. Ia mencerna pikirannya yang menyuruhnya untuk berhenti dan menyerah saja. Nafasnya kini bagaikan kerbau yang hendak disembelih, kini Langit telah memutuskan untuk melanjutkan push up. 

Lihat selengkapnya