Sang Petarung

Zulfan Fauzi
Chapter #6

Muay Thai Girl

Louisville, Kentucky 1954



 "Memangnya kau bisa berkelahi?" tanya Joe Martin, di hadapannya kini ada seorang bocah kulit hitam yang terkenal banyak bicara dan suka omong besar.


 "Aku akan menghajarnya... sungguh aku akan menghajar dan memukul tepat di wajahnya!" Ucap Cassius Clay Jr dengan amarah yang semakin membuncahdi dadanya. 


  "Bagaimana caranya kau bisa memukul wajahnya, bahkan caranya memukul pun tak tahu!" Joe Martin terkekeh sembari matanya memandangi bocah kulit hitam di depannya tersebut. 


  "Aku tak peduli, meski aku tak tahu caranya berkelahi. Aku akan tetap menghajarnya" ujar Cassius Clay Jr, bocah berkulit itu menggenggam tangannya, lalu mengacungkan tinju kanannya ke arah Joe Martin yang hanya terkekeh melihat tingkah bocah di hadapannya tersebut. 


 "Menggenggam tangan untuk meninju saja kau tak becus" ucap Joe Martin, kali ini ia memutuskan untuk duduk di tepian ring sambil berpegangan dengan tali di ring. Sontak semua orang di sasana tersebut tersebut tertawa mendengar apa yang diucapkan oleh Joe Martin. 


 Seakan dedaunan kering di musim kemarau yang menanti untuk terbakar, tawa yang membahana di sasana tinju tersebut semakin menyulut api amarah yang membuncah di dalam dada Cassius Clay Jr. Bocah berkulit hitam itu semakin murka, wajahnya memerah dan seakan ketel yang sedang dijerang dan siap untuk menumpahkan uap yang berupa amarah. 


 "Aku tak perduli, meski aku tak tahu cara memukul, menggenggam tinju atau apapun itu. Pencuri itu tetap akan aku hajar!" Cassius Clay Jr itu kini berteriak, lalu dalam sekejap suasana ruangan di sasana tersebut menjadi hening. Semua tawa yang semula memenuhi seluruh sasana tersebut sirna karena amarah seorang anak kecil.


 "Aku tak peduli meski tidak tahu caranya berkelahi... sepeda itu hadiah natal dari ayahku!" Isak Cassius Clay Jr tersebut dengan suara yang semakin pelan, teriakan amarahnya kini digantikan oleh air mata yang diam-diam mulai terjatuh. Bocah berkulit hitam yang terkenal suka banyak bicara di kota Louisville tersebut kini menangis, wajahnya kini seakan dipayungi awan mendung. Lalu di kedua matanya, tempat dimana kau bisa mengintip jiwa seorang itu kini mulai gerimis, rintik demi rintik mulai jatuh di wajahnya. 



 "Maukah kau, aku ajari caranya berkelahi?" Tatap Joe Martin dengan sorot matanya yang lembut.


Gerimis yang menggantung di pelupuk mata Cassius Clay Jr pun perlahan reda, awan hitam yang memayungi hatinya pun meredup seakan diterabas sinar matahari. 


***


  Langkah kakinya terasa ringan, trek demi trek sore ini telah ia taklukan. Matahari sore yang panas dan membakar kini terasa akrab dengan dirinya, Langit kini bukanlah Langit yang dulu. Ia tidak lagi pemuda berbadan seperti dahan pohon di kemarau yang kerontang. Kini tubuhnya telah terpahat otot dan berat badannya pun telah bertambah. 


  Sore ini Langit sudah lari sejauhnya dua kilometer, ia berniat untuk meningkatkan kapasitas paru-parunya. Bagi seorang petinju endurance yang baik adalah keharusan, percuma memiliki pukulan keras namun tidak memiliki daya tahan yang bagus saat bertanding di ring. 


 Setiap pagi setelah shalat subuh lari sejauh dua kilometer adalah ritual barunya Langit, sedangkan setiap sore ia akan latihan di Sasana Tinju Kasih Ibu. Jadwal latihan tinju Langit adalah setiap hari senin, rabu, dan jumat sore. Sedangkan jeda di antara jadwal latihan dimanfaatkan Langit untuk melatih fisiknya secara mandiri. 


 Sepanjang dua kilometer Langit berlari dengan pose running punch, dengan kedua tangan terangkat dan sesekali memukul bayangan. Dengan cahaya matahari yang terik di sore ini, tubuh Langit bersimbah akan peluh. Nafasnya terasa berat, ia berhenti sebentar untuk mengatur pernafasannya. 


 Suasana sore itu tidak seramai biasanya, tak ada anak-anak yang bersepeda berkeliling taman ataupun muda-mudi yang berswafoto di dekat danau maupun para kekasih yang duduk sambil minum es di pinggir taman. Panas yang menyengat seakan ditawarkan oleh rindangnya pepohonan, Langit mengistirahatkan tubuhnya sebentar merasakan deburan angin di tubuhnya. 


  Setelah merasa cukup beristirahat Langit melanjutkan melatih fisiknya melalui push up dengan posisi tangan di atas bangku panjang tamantaman dan kaki di tanah atau juga yang biasa disebut dengan inclined push up. Kali ini Langit melakukan tiga set inclined push up dengan dua belas repetisi. 


 Panas menyengat dan desau angin yang menelusup di antara ranting serta dedaunan menimbulkan suasana tenteram di hati Janaka, peluh kembali merembes di tubuhnya dan nyeri mulai melanda otot dada dan tangannya. Hingga secara tak sengaja sudut mata Langit melihat ke dekat danau kecil di tengah taman. Seorang perempuan dengan rambut diikat seperti ekor kuda nampak berjalan di tengah taman. 


 Langit tertegun, walau hanya di kejauhan Langit dengan insting lelakinya mampu menebak bahwa perempuan yang sedang ia tatap secara sembunyi-bunyi itu perempuan yang cantik. Tubuh ramping dan tinggi yang semampai membuat siluet perempuan itu bagaikan manekin yang sering kau temukan di toko pakaian. 


Lihat selengkapnya