Filifina, Manila
Entahlah ini sudah hari ke berapa? Manny kecil sudah tak menghitungnya lagi. Amarah dan rasa sedih telah membuatnya lupa, beberapa hari yang lalu dan entah itu hari apa setelah sekian lama keluarga mereka yang termasuk kategori miskin itu akhirnya makan daging lagi.
Semua anak-anak di dalam rumah yang lebih tepat disebut dengan gubuk itu sangat gembira, karena hari ini mereka makan daging. Beberapa hari ini kehidupan keluarga mereka sangat sulit, tidak ada ikan yang bisa ditangkap. Si Nelayan tua sedang sakit, sedangkan Manny masih terlalu muda untuk melaut sendirian. Alhasil, dalam berapa hari ini mereka hanya makan sayur-sayuran yang mereka kumpulkan di hutan.
Hari ini mereka semua makan sampai kekenyangan dan lagi-lagi Manny kecil lupa kapan ia dan juga kakak serta adiknya bisa makan dengan kenyang. Sementara itu ayah dan ibu mereka hanya bisa menatap dengan sedih. Sesekali mereka juga ikut menyantap daging yang terhidang di meja.
Tawa merebak di dalam gubuk kecil itu, namun terasa ada nuansa haru yang melayang di udara. Manny melihat di pelupuk mata sang ayah ada air mata yang ditahan agar tak menetes, pula di mata sang bunda ia melihat seakan berkaca-kaca. Namun ia tak berani bertanya, ia tidak ingin mengusik kebahagian di hari ini.
Pagi itu, seperti biasa Manny bangun pagi-pagi sekali. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dari dirinya entah hari itu ada pekerjaan atau tidak ada pekerjaan. Ia hirup udara pagi itu yang terasa segar, ia isi paru-parunya dengan oksigen dengan kualitas terbaik.
Manny berlari-lari kecil di sekeliling rumahnya sekedar meregangkan tubuh, hingga di suatu ketika saat matanya melihat ceceran darah yang ada di samping rumahnya. Badannya gemetar, air matanya jatuh, ia tahu kenapa mereka sekeluarga bisa makan daging semalam.
Ia marah, Manny benar-benar marah namun di suatu sudut di hatinya ia memaklumi apa yang dilakukan oleh ayahnya. Ia benci kenapa si nelayan tua harus jatuh sakit, ia benci kenapa keluarga mereka sangat miskin, ia marah kenapa ia bahagia sekali saat makan daging saat itu.
Ia sangat marah kenapa harus anjing miliknya, sahabat karib satu-satunya yang harus disembelih sang ayah.
***
Suatu sore biasa dengan terik matahari yang membakar disertai desau angin kemarau yang bertiup. Suasana dalam sasana terasa sedikit tegang, Alfi yang biasanya selalu ceria pun tak sanggup menutupi rasa gugupnya. Berkali-kali Alfi menyapu keringat yang menetes di dahinya, perasaan gelisah membuatnya duduk dengan tak nyaman.