Manila, Filipina
Dadanya bergemuruh, amarah yang ia simpan di dalam hatinya sedikit demi sedikit memudar. Segala hal yang ada di hadapannya kini benar-benar memukau mata dan hatinya. Tempat ia berpijak sekarang benar-benar berbeda dari kampung halamannya dahulu. Tidak ada gunung yang seolah menjadi tiang penyangga langit ataupun hutan tempat ia dan keluarganya mencari makan.
Manny kecil terpana, biar bagaimanapun ia hanyalah anak kecil dari sebuah desa yang jauh. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di kota besar, gunung di desanya yang menjulang kini digantikan gedung-gedung tinggi pencakar langit, teduhnya hutan dan jerit hewan kini berganti dengan lalu lalang mobil dan bunyi klakson yang seakan tak pernah berhenti.
Mungkin hanya perasaan Manny saja pikirnya, namun baginya di kota besar seperti ini waktu berjalan begitu cepat. Seakan batu yang digelindingkan dari atas bukit dan terus melaju, waktu bergulir begitu cepat. Padahal seakan baru saja ia membuka mata di pagi hari namun tiba-tiba saja sudah malam saja. Sungguh berbeda dengan desa tempatnya tinggal dulu, waktu berjalan sangat lambat seakan kereta tua yang ditarik keledai di jalananan berbatu.
Manilla dengan panas yang menyengat seakan membakar kota tersebut dengan segala keluh kesah para penduduknya. Sudah seminggu Manny kecil tinggal di jalanan bersama banyak anak jalananan yang bertebaran di ibukota. Ia tidur beralaskan kardus seperti para anak jalanan yang lain sedangkan bintang-bintang adalah atap sekaligus lampu tidur baginya.
***
Suasana yang semula tegang dan kaku kini menjadi lebih cair, setelah sparring pertama yang dilakukan oleh Rahmat dan juga Doni. Rasa gugup karena akan melakukan latih tanding atau sparring untuk pertama kali di hati para anggota pelatihan tinju seakan mencair, laiknya kepingan salju di atas atap yang ditimpa sinar matahari.
Pertarungan pun berlanjut, itupun jika boleh disebut begitu. Latih tanding dengan menekankan nilai-nilai persahabatan dan pula penilaian akan penerapan teknik apakah sudah benar atau belum. Menang atau kalah bukanlah poin utama dalam latih tanding, pembenahan mental yang benar dan teknik yang tepat adalah hal utama.
Setelah sparring antara Rahmat dan Doni, sparring berikutnya adalah antar Dewi dan pula Rahmi. Dewi dan Rahmi adalah sedikit dari kaum hawa yang memilih untuk berlatih beladiri dan khususnya tinju. Keberadaan kedua perempuan itu juga adalah penyemangat bagi sahabat karibnya Langit yaitu Alfi.
Proses sparring antara dua perempuan yang konon adalah makhluk yang jauh lebih lemah itu, ternyata jauh lebih intens dan seru dibandingkan sparring yang pertama. Semua teknik yang sudah diajarkan oleh coach Banyu mampu dieksekusi dengan benar, baik oleh Rahmi ataupun Dewi.
Cara mereka membuat jarak, variasi serangan, intensitas, dan daya ledak pukulan mereka jauh lebih memuaskan coach Banyu dibandingkan para lelaki seperti Doni maupun Rahmat. Serta yang paling membuat coach Banyu terharu adalah kedua murid perempuannya itu mampu menciptakan ritme mereka, setiap serangan yang dilontarkan tidak dilesakkan secara asal-asalan namun beraturan.
Setiap serangan dari Rahmi ataupun Dewi terasa sangat cepat, baik itu jab maupun straight. Postur tubuh mereka yang cenderung langsing juga membuat langkah kaki ataupun footwork mereka lebih ringan, setiap perpindahan posisi dari menyerang ke bertahan menjadi lebih smooth.
Serangan yang lebih variatif ditambah footwork yang lincah menjadikan latih tanding antara Rahmi dan Dewi lebih atraktif. Tiga menit telah berlalu dan penampilan Rahmi dan Dewi mendapat banyak tepukan tangan, senyum kedua perempuan itu merekah dan pipi mereka merona. Setelah berpelukan sebagai tanda sportifitas, Rahmi maupun langsung duduk selonjoran sembari meluruskan kaki mereka.