Sang Petarung

andra fedya
Chapter #9

9. DEBUT BOBBY

Karena semalam Bobby menginap di rumahnya Kang Wawan, aku berangkat berdua dengan Tatang menuju sasana Kang Ruski. Di perjalanan, aku banyak mengobrol dengan Tatang. Entah dari mana mulanya, obrolan standar kami tahu-tahu berbelok membahas tentang keluarga Bobby. Tatang bilang Bobby punya satu adik laki-laki.

"Tapi u-udah meninggal," lanjut Tatang, Tatang memang kalau ngobrol terkadang suka tergagap. "Sa-sakit. Dikuburinnya di Garut."

"Sakit apa?" tanyaku penasaran.

"Kurang tau," jawab Tatang.

"Kamu udah pernah ketemu, Tang?"

"Be-belum," jawab Tatang. "Saya juga di-diceritain sama si Aji."

"Oh ... kasian."

"I-iya, kasian."

Layaknya sebuah ingatan baru, informasi itu merembes masuk ke kepalaku, yang lantas membuatku sedikit termenung. Tidak tahu kenapa, aku merasakan setali jarak tipis yang merentang antara aku dan Bobby. Tali yang sama pula yang sepertinya menjadi benang penghubung untuk segala keramahan dan kemurahatian Bobby padaku.

Tatang membeli sebotol minuman yang ditawarkan penjual asongan di pintu bus, kami memang sengaja naik bus. Aku memilih memandangi jendela saja, memerhatikan atap mobil Avanza yang berhenti bersebelahan dengan bus yang kutumpangi di lampu merah.

Jika Bobby baik padaku karena ia melihat sosok adiknya pada diriku, apakah dengan begitu aku juga bisa menganggap Bobby layaknya seorang abang untukku? Apakah Bobby akan keberatan kalau aku bertanya persoalan adiknya? Hm... sepertinya dia memang tidak ingin membicarakan soal itu padaku. Aku tidak akan memaksa.

Jika Bobby siap terbuka, ia pasti akan melakukannya.

* * *

Sesampainya di sasana Kang Ruski, langsung kucari Bobby. Aku menemukannya sedang duduk di halaman belakang sanggar yang menghadap ke teras rumah orang. Di situ Bobby sedang mendengarkan musik di HP. Di lantai dekat dengan kakinya, ada es teh manis dengan sedotan tipis ringan yang mengambang.

Bobby melepaskan headset-nya waktu melihatku datang. Dia langsung tertawa ketika melihat tas sebesar gunung yang kupanggul di punggung.

"Jangan komentar," suruhku sebelum dia mengejekku. "Ibu yang masukin perlengkapan perang dunia ke tasku. Ada meriam sama ranjau juga di situ. Eh, kalau masukin tangan lebih dalam, ada wc umum juga."

"Kasian ... jadi kaya kura-kura kamu, Rem." Bobby tertawa lagi, dan baru berhenti tertawa saat dia menyadari gulungan karton yang mencuat dari sela-sela tasku.

"Itu kartonnya, ya? Tulisannya apa?"

"Bikinnya pakai hati, pasti kamu terharu," kataku.

"Mana liat, dong!" pinta Bobby.

"Jangan, nanti aja. Kejutan." Aku lalu meletakkan tasku di atas meja di pojok.

Saat aku sedang duduk dengan Bobby di situ, Kang Wawan menghampiri Bobby. Kata dia, sampai dengan jam segini, dia dapat laporan kalau lebih banyak orang yang bertaruh ke kubu lawan. Sementara Bobby diragukan akan memenangkan pertarungan malam ini.

"Terus apa kata inverstor?" tanya Bobby dengan duduk yang sudah maju. Digenggamnya gelas teh manisnya tapi ia belum meminumnya lagi.

Lihat selengkapnya