Sang Petarung

andra fedya
Chapter #1

1. IBU

Ketika ibuku memutuskan kalau kami harus menetap di Bandung, aku seharusnya tahu kalau suhu kota ini akan sedikit membuatku kewalahan. Meski warga lokalnya mengatakan bahwa Bandung masa kini tidaklah sedingin Bandung tempo dulu, tapi bagiku yang sejak kecil tinggal di Jakarta, temperatur kota ini tetap terlampau rendah. Bayangkan saja, kabut tipis masih muncul lewat pukul lima pagi, embun masih menggelantung di dedaunan meski semalam hujan tidak turun dan aku masih butuh selimut sampai sinar matahari masuk melewati jendela kamarku.

Aku bahkan memerlukan beberapa minggu untuk beradaptasi sepenuhnya dengan suhu dingin di sini. Dari selalu mandi air hangat, air yang direbus ibuku dalam ceret kemudian ditumpahkan ke ember, hingga selalu pakai sweter kalau keluar rumah, sekalian berjaga-jaga kalau turun hujan yang tak terelakan.

Pagi hari pun ujung-ujung hidungku kering mengelupas, kutikula kukuku menghitam dan perih, dan kadang jika bulan sudah memasuki musim penghujan, karbondioksida yang keluar dari mulutku menjadi pabrik uap massal yang sungguh sangat menarik diamati kalau situasi hatiku sedang bagus.

Awal kepindahan, aku keluhkan semua itu pada ibuku, tentang batang hidung yang kering, kutikula kehitaman dan matahari yang sering terlambat terbit, tapi katanya aku hanya harus ikhlas. Seperti suatu kata sakti saja "ikhlas" itu. Kalau ibuku sudah menyebut kata itu, tak ada lagi yang bisa kaulakukan selain menunggu semuanya jadi lebih baik.

Rumahku ada di bagian Bandung Timur. Sekitar 14,4 kilometer dari Alun-Alun kota yang ada di Jalan Asia-Afrika, 16 kilometer dari Jalan Dago, 14,5 kilometer dari pusat kerajinan kulit Cibaduyut, 13,6 kilometer dari Taman Makam Pahlawan Cikutra, 10 kilometer dari Jalan Kiaracondong dan 3 kilometer dari perempatan Gedebage. Kalau kau orang Bandung dan jago mencocokkan jarak, pasti tahu tempat-tempat itu dan bisa membayangkan di mana kira-kira aku tinggal.

Ketika aku harus meneruskan pengobatan ke rumah sakit yang ada di daerah Sukajadi, aku harus menaiki taksi atau kendaraan online bersama ibuku sejauh 17 kilometer lebih. Kadang, ibuku harus membayar sebanyak delapan puluh hingga seratus dua puluh ribu rupiah untuk sampai ke tujuan; itu jelas bukanlah nominal yang sedikit mengingat kami harus berhemat.

Karena merasa bersalah dengan ongkosnya, di perjalanan, aku cerewet sekali mengajak ibuku mengobrol supaya ibuku tidak perlu memikirkan berapa banyak ongkos yang akan dihabiskan sebentar lagi. Aku tahu, ibuku juga kewalahan mendengarkan ocehanku, tapi itu lebih baik daripada melihatnya termenung menatap luar jendela, menghitung berapa Rupiah dikeluarkan untuk ongkos dan biaya pengobatanku kelak.

Aku sudah bilang pada ibuku, untuk penghematan, kita bisa menaiki angkutan umum seperti angkot atau bus kota. Beberapa kali menyambung kendaraan memang, tapi biayanya jelas bisa dipangkas hingga separonya. Sayangnya, ibuku selalu menolak ide itu. Katanya, kenyamananku adalah yang terpenting.

Aku jelas tak sependapat, tapi ibuku lebih pandai meyakinkan aku.

Ketika aku melihat ke dalam matanya, aku percaya memang itulah satu-satunya yang ia inginkan untuk saat itu. Spontan di dalam hati, aku langsung mengumpat marah kepada diriku sendiri. Aku yang lemah, yang jadi beban dan tak bisa membahagiakan ibuku tersayang ....

* * *

Nama ibuku, Laras Herawati. Umurnya empat puluh dua tahun. Ulang tahunnya, meski tidak lagi dirayakan, jatuh setiap tanggal 3 November. Ibuku, meski garis-garis usia tipis sudah terlihat melukis wajahnya, masih terlihat cantik untuk wanita seusianya.

Lihat selengkapnya