Sang Petarung

andra fedya
Chapter #2

2. AYAH

Sementara Ibu menetap bersamaku di Bandung, Ayah tetap harus tinggal di Jakarta untuk bekerja. Karena kami tak lagi punya rumah, kini Ayah harus menyewa sebuah kamar di bangunan indekos tiga lantai di daerah Jakarta Barat, dekat dengan kantornya. Kamar yang jajaran paling atas dihargai sangat murah karena suatu tragedi terjadi di situ. Tetangga kos Ayah di sana yang bercerita, katanya pernah ada seorang karyawan pabrik onderdil depresi ditemukan tewas gantung diri di areal jemuran yang letaknya persis di depan kamar ayahku. Ketika diturunkan, mayatnya sudah berwarna gelap dan terdapat kotoran berceceran di lantai sekitar ia tergantung.

Tapi tampaknya ayahku tidak khawatir harus menempati kamar yang jendelanya menghadap langsung ke TKP, karena katanya, yang hidup lebih membuatnya tertekan dibanding yang mati. Yang dimaksud ayahku adalah atasannya di kantor, bukan aku tentunya. Berhubung ayahku adalah pencari nafkah utama, ia harus rela tetap banting tulang ketika ibuku fokus mengurus kesehatanku.

Meski tidak pernah mengatakannya, aku tahu ayahku kesepian dan tidak bahagia di tempat kosnya yang kecil, suram dan penuh jejak tragedi itu. Aku juga tahu kalau ayahku sering merindukan ibuku. Pada suatu malam, aku pernah tak sengaja mendengar suara Ibu berbicara di telepon dengan Ayah, menyatakan kerinduan, saling menabahkan dan menguatkan. Ada aku di tengah doa mereka. Selalu aku ....

Ayah menemui kami satu bulan sekali. Kalau Ayah datang, oleh-olehnya selalu sama. Seloyang pizza dari restoran favorit kami dulu. Aku menghabiskan tiga potong pizza tanpa merasa kekenyangan. Pizza adalah makanan langka untuk keluarga kami. Di kursinya, kudapati ayahku tersenyum, senang mendapati aku makan begitu lahap.

Dengan pizza menjadi pusatnya, kami bertiga masih betah mengobrol sepanjang malam, membicarakan hal-hal sepele dan standar. Seolah-olah kami masih tinggal bersama, tak pernah dipisahkan 200 kilometer jarak Jakarta-Bandung, dan rentang sebulan lamanya.

Ketika Ibu dan ayahku terlibat pembicaraan yang menyangkut urusan orang dewasa, aku memutuskan menyingkir, menyeret diri menuju sofa di ruang televisi. Sementara ibuku memegang alih pembicaraan, aku bisa memerhatikan kalau ayahku tampak semakin tua dan kusam setiap kali ia mengunjungi kami. Seolah-olah hidupnya di Jakarta betul-betul mematikan syaraf-syarat bahagianya dan menuakannya dalam periode cepat. Seolah-olah ada bagian jiwanya yang dimatikan di sana dan dipaksa hidup dengan baterai soak di sini.

Lihat selengkapnya