Hari, minggu dan bulan tahu-tahu menggelincir begitu saja seperti lembaran kertas yang dibuka konsekuen tanpa minat. Hidupku sendiri masih seperti hamparan padang kelabu yang tidak berkesudahan. Aku menjalani hariku dengan harapan dari obat-obatan dan dukungan orangtuaku. Selebihnya, aku hanya menyeret diri dengan tenang dan senyap seperti bayangan buram atau hantu.
Berita bagusnya, udara dingin tidak lagi menggangguku atau membuat kulitku kering, meski begitu, Ibu tetap mengoleskan Vaseline kalau ia ingat.
Usaha jahit ibuku masih berjalan, dan mesin jahitnya sudah pernah di-service karena mengeluarkan suara berisik yang mengganggu tetangga. Ayah tetap setia berkunjung setiap awal bulan, masih membawa pizza dan kadang lelucon baru yang didapatnya di kantor—percayalah itu bukan lawakan yang lucu, tapi anehnya Ibu dan aku tetap tertawa bermenit-menit karena kami tahu kami baru bisa mendapatkan lelucon baru lainnya bulan depan.
Ray juga sempat datang bulan kemarin, dia mendoakan supaya aku cepat sembuh ketika dia akan naik bus untuk kembali ke Cirebon. Aku hanya mengangguk, tak bisa menjanjikan apapun. Ray tampaknya bertambah jangkung dan ganteng dari terakhir kali kami bertemu, dan ketika kulihat pantulan bayanganku di kaca, aku merasa aku ini mirip Gollum dibandingkan dirinya yang rupawan.
Setelahnya, tanpa sadar bagai masuk mesin waktu, hujan mulai turun dan kusadari bahwa bulan sudah membawa kami ke September lainnya ....
Aku sempat terperanjat ketika kusadari bahwa waktu bisa secepat itu bergasing. Dengan kemuraman dan kemonotonan hidupku, aku cukup bangga bahwa aku bisa bertahan sampai dengan hari ini.
Aku tahu, banyak sekali hal yang kulewatkan sebagai anak remaja berusia empat belas tahun. Hal-hal menyenangkan yang membawa pengalaman hidup.
Terkadang, kalau aku sedang sangat melankolis, aku bisa menuliskan daftar hal-hal apa saja yang seharusnya bisa kulakukan andaikan aku sehat di dalam binderku—yang kemudian membuatku stres sendiri setelah menyadari bahwa semua yang ada dalam daftar itu hanya angan-angan yang tidak akan pernah terwujud.
Namun, melihat ibuku masih tegar berjuang demi kesembuhanku membuatku merasa tabu untuk memikirkan kematian lagi meskipun aku ingin. Jadi, aku berusaha bersikap senormal mungkin, tidak mengeluh apalagi sampai bermuram durja di depan ibuku.
***
Oktober pun akhirnya datang. Oktober, bulan tanah basah. Tapi, entah bagaimana Oktober kali ini air hujan turun semaunya sendiri. Seperti tukang sampah di lingkungan kami yang datang tidak tentu harinya. Kadang, baru dua minggu kemudian munculnya, saat semua sampah sudah menggunung di depan rumah-rumah, bukit ideal tempat nongkrong koloni lalat hijau. Begitu tingginya gundukan-gundukan itu, hingga aku agak yakin kalau ada psikopat yang diam-diam menyembunyikan mayat di salah satu kaki tebing sampah itu, warga tak akan curiga.
Di salah satu hari di bulan Oktober yang mataharinya seterang langit bulan Mei, adalah awalnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan; tidak ada geluduk, tiada petir, kakiku membawaku menumpangi sebuah angkot hingga ke terminalnya.
Ketika turun dari mobil itu, kepalaku celingukan, berupaya mengenali tempat asing. Berdiri di trotoar sembari mengencangkan antena intuisiku yang sudah terasah tajam sejak umurku sepuluh tahun, mengenali koridor-koridor rumah sakit yang serupa, mencari jalan paling pintas ke tempat menebus obat, ingin lekas pulang untuk nonton kartun. Akhirnya sandalku yang sudah bertelepati dengan jiwaku menuntunku berjalan ke seberang jalan.