Sang Petarung

andra fedya
Chapter #4

4. TEMAN BARU

Malam harinya di meja makan, ibuku terlihat begitu gembira. Katanya, ia baru saja dapat proyek menjahit seragam untuk anak PAUD di depan kompleks. Jumlahnya sekitar dua puluh empat setel. Dan besok ia harus pergi berbelanja bahan-bahan ke Pasar Baru yang ada di Jalan Otto Iskandar.

Ibuku lalu bertanya, apakah aku tidak apa-apa kalau besok ditinggal selama beberapa waktu.

Sambil menyuap nasi, aku menggeleng. Aku bilang tidak apa-apa, aku bisa mengurus diriku sendiri.

"Ibu udah tandain yang mana yang harus dikerjain." Setelah makan malam, Ibu memberiku buku pelajaran yang sudah lipat di bagian ujungnya, itu buku pelajaran Kimia.

Aku langsung mendesah, tapi tidak ingin mendebat ibuku yang sedang dalam situasi hati baik. Jadi aku pun mengambil buku itu dan memerhatikan tugas yang ibuku suruh kerjakan.

Sejujurnya, aku benci pelajaran Kimia. Aku menyukai Fisika dan Sejarah. Aku tahu, kesukaanku tidak masuk akal. Siapa coba yang menyukai pelajaran mengembangkan ilmu masa depan dan masa lalu sekaligus? Dua pelajaran yang bertolak belakang. Seperti seorang ilmuan yang memercayai ramalan.

Tidak tahu, deh. Pokoknya aku senang mengukur jarak titik satu ke titik lainnya, menentukan panjang gelombang. Lalu di lain waktu aku juga senang membayangkan apa saja yang dibicarakan para tokoh penting terdahulu. Misalnya saat Iosef Stalin, Harry S. Truman dan Clement Richard Attlee duduk bersama dalam konferensi Postdam di Jerman, apakah ada pembahasan lain selain yang dipublikasikan ke seluruh dunia? Misalnya membahas tentang betapa cantiknya Marilyn Monroe atau apa ....

Oh, aku juga sangat mengagumi benda-benda di langit. Terutama mengenai planet-planet. Dari sekian planet dalam tata surya kita, favoritku adalah Jupiter, si planet raksasa. Kau tahu apa, menurut para peneliti, jika Jupiter dihilangkan dari semesta ini, maka kita semua akan mampus. Lain kali akan kujelaskan teorinya. Sekarang aku harus mengerjakan soal-soal Kimia yang menyebalkan dulu.

* * *

Aku sudah berhenti sekolah sejak umurku sepuluh tahun. Dan sekarang, umurku sudah empat belas tahun. Dengan kata lain, empat tahun belakangan ini aku resmi menyandang gelar anak putus sekolah. Itu terjadi bukan karena mauku, karena seperti yang kalian tahu, orangtuaku tidak punya dana tambahan untuk mendaftarkanku mengikuti home schooling. Sedangkan, kegiatan sekolah umum terlalu melelahkan untukku.

Dulu, sebelum aku tahu bahwa biaya home schooling itu lebih mahal dari sekolah umum, aku pernah merengek pada orangtuaku untuk disekolahkan. Sampai kemudian aku sadar kalau aku tidak bisa menghancurkan kaca yang sudah jadi bubuk. Sudah untung aku bisa membeli obat-obatan. Sudah untung kami bisa makan. Sudah untung ... pokoknya, sudah untung!

Kata ayahku, kesehatan lebih penting daripada kepandaian. Aku pribadi sih sedikit tidak setuju soal itu. Marie Curie mengorbankan kesehatannya ketika ia mengoptimalkan kepandaiaannya. Sekarang, dia banyak menyembuhkan penderita kanker dengan mesin radioterapinya. Bagaimana kalau orang cerdas seperti Marie Curie menyerah karena terlalu banyak khawatir akan kesehatannya. Contoh kecilnya, orang yang menderita kanker dan tumor tidak terselamatkan jika mesin radioterapi tidak pernah ada. Itu hanya satu dari manfaat radiasi hasil temuan Marie Curie dan suaminya.

Namun di sisi lain, pada kenyataannya aku dipaksa setuju oleh ucapan ayahku. Setidaknya bagi orangtuaku, kesehatanku lebih penting daripada kecerdasanku. Masa bodoh aku tidak pandai, yang penting aku sehat. Masa bodoh aku dungu, yang penting aku tidak mati muda.

Ah, andaikan aku bisa menukar jantungku dengan kecerdasanku ... aku rela jadi bocah paling dungu se-kelurahan. Atau se-kecamatan sekalian. Asalkan aku bisa berlari, berlari semauku sampai kakiku lecet.

* * *

Besoknya, tanpa aku sadari, kakiku membawaku ke tempat rental yang kemarin kudatangi. Aku tidak tahu kenapa aku ke sana. Mungkin aku bosan? Atau mungkin aku hanya mengikuti dorongan naluriah seorang manusia yang butuh ikatan sosial dengan spesies sebaya. Karena selain sepasang kura-kura brazil kecil yang kupelihara sejak dua tahun silam, Vena si betina dan Arteri di jantan, sudah lama aku tidak duduk-duduk berbicara dengan remaja seusiaku.

Sedikit tambahan nih, kura-kuraku itu juga sifatnya kurang bagus. Mereka cuma mau berkomunikasi antarkura-kura saja. Kalau akuarium mereka lampunya kunyalakan, mereka langsung diam tapi saling lempar isyarat jengkel. Melirikku dengan mimik sombong dan tatapan rasis. Mungkin dipikir mereka aku ini monster atau penculik? Padahal, untuk membersihkan kandang mereka saja kulakukan dengan sangat teliti.

Aku tidak melihat anak laki-laki perokok kemarin. Dan itu cukup membuatku kecewa. Aku mau lihat bagaimana dia bermain dengan stick controller-nya, atau mengobrol sebentar soal tim sepak bola yang sedang sengit pertarungannya di liga-liga Eropa. Atau hanya mengobrol biasa layaknya dua remaja normal. Lagian, tidak ada orang lain yang menyapaku di tempat ini. Hanya dia yang memerhatikanku.

Ketika aku hampir saja pulang, aku mengurungkan niatku karena melihatnya datang. Anak itu datang bersama temannya menggunakan motor. Ketika melihatku, dia mengedikkan dagu menyapaku. Aku buru-buru balas mengedik untuk menyapanya. Aku berpikir, mungkin itulah caranya "laki-laki keren" saling menyapa. Aku tidak tahu apakah aku harus menghampiri dan mengajaknya tos juga. Kemarin kan dia menawariku rokok, mungkin artinya sekarang ini kami sudah berteman.

Dia masuk ke dalam, kemudian tampaknya dia terlibat obrolan dengan beberapa temannya di sana. Diam-diam aku berdiri di dekat gerombolan itu, menguping, penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Sekaligus berharap diajak bergabung.

Lihat selengkapnya