Sang Petarung

andra fedya
Chapter #5

5. MARKAS

Besoknya, ketika aku bertemu Bobby, kutanya berapa umurnya dan di mana ia sekolah, dengan santai ia menjawab kalau ia sudah kena drop out sekitar lima bulan yang lalu. Dan karena Bobby ternyata lebih tua tiga tahun dariku, berarti umurnya tujuh belas tahun. Kalau masih sekolah, dia harusnya duduk di kelas sebelas.

Yang datang ternyata bukan Bobby saja, tapi juga ada sembilan teman-temannya yang lain. Bobby mengenalkan aku dengan teman-temannya. Yang benar-benar bereaksi ramah atas kehadiranku ada tiga orang, yaitu, Aji, Tatang dan Agung. Aji adalah yang kemarin memakai jaket kuning, yang gigi depannya satu ompong, Tatang adalah yang bertubuh pendek dengan tato Donald Duck tak presisi di lengannya, berbicara gagap, canggung, tapi paling murah senyum, sedangkan Agung agak tampan dibanding teman-temannya yang dekil-dekil itu, berwajah bulat, berambut hijau cepak, memakai jam tangan emas dengan label "Rolex" pada pusat diameternya, yang jelas palsu, namun dikenakan dengan penuh harga diri.

Selain mereka, yang lain seperti enggan aku bergabung. Tapi sepintas aku ingat nama-nama mereka: Ferdi, Moeng (nama julukan), Kardi, Eot (nama julukan dari "Peot" yang artinya kurus kering), Iki dan Asep.

Aku tidak tersinggung dengan setengah penolakan itu. Aku tahu, di dalam kelompok selalu ada anak yang lebih murah hati dari yang lain, lebih santai dan lebih mudah diajak bernegosiasi. Ada pula yang susah didekati, tertutup dan menunggu pembuktian. Aku yakin, pelan-pelan aku bisa menembus dinding itu.

Kata Bobby, kita mau ke markasnya. Aku tidak tahu kenapa Bobby dan teman-temannya harus punya markas. Tapi katanya, markasnya lumayan jauh sehingga kami perlu naik angkot atau bus kota untuk sampai ke sana.

Di angkot, aku duduk di sebelah Bobby. Dia tidak banyak bicara tapi juga tidak mengabaikanku sepenuhnya. Waktu dia bertanya tentang hal-hal standar padaku, kujawab semuanya dengan setengah jujur. Bobby banyak menghabiskan waktunya untuk menatap ke luar jendela, seperti ada yang sedang dipikirkannya dengan serius. Mirip kelakuan ibuku kalau kita dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Ketika kami sampai di Kebon Kalapa, kami bersebelas berjalan berbondong-bondong cukup jauh sebelum menemukan satu gang yang dimaksud dan masuk ke dalam sebuah bangunan terbuka kumuh yang sepertinya adalah sebuah sasana bela diri.

"Ini namanya Kang Ruski," Bobby mengenalkan aku pada pria pendek dengan tubuh berotot. Kumis pria itu hitam lebat menutupi mulut, hingga otakku refleks membayangkan caranya makan. Barangkali jadinya seperti penjelajah yang mencoba membelah gua purba yang ditumbuhi sulur-sulur rambat untuk pertama kali.

Aku mengangguk padanya dengan sopan.

Bobby lalu menyuruh aku duduk lesehan di dekat salah satu ring yang paling bagus. Dia bilang, dia mau latihan sebentar. Setelah dia latihan, dia akan menjelaskan semuanya padaku.

Ketika dia sedang peregangan di samping ring, kutanya padanya apa bela diri yang dia tekuni, dia menjawab, "Harus bisa semua. Tapi boxing dan judo yang paling inti."

"Mantap kali," komentarku spontan dan Bobby nyengir.

* * *

Setelah peregangan, pelatih Bobby, Kang Ruski membantu Bobby melilitkan hand wrap di telapak hingga punggung tangannya. Jadi hand wrap itu sendiri adalah kain panjang berwarna putih gading yang dililitkan berulang kali di tangan supaya mengurangi pergeseran otot ketika bertarung.

Setelah semua tali itu terpasang di kedua tangan Bobby, Bobby lalu melakukan pemanasan. Seperti pemanasan standar sampai dengan sit up sebanyak dua puluh kali. Kata Bobby, biasanya ia melakukan pemanasan dengan samsak tinju selama beberapa waktu, tapi karena Kang Ruski harus melatih beberapa orang, latihan kali ini langsung ke inti.

Sarung tinju sudah dipasang di kedua lengan Bobby, punch mitt sudah dipegang Kang Ruski. Di atas ring, kemudian mereka mulai berlatih. Dengan melesat dan terarah, Bobby melesatkan tinju-tinjunya ke bantalan yang dipegang Kan Ruski. Sambil sesekali Kang Ruski menginteruksikan arahan-arahan untuk Bobby.

"Jab," perintah Kang Ruski. Atau "Straight," ia mengganti arahan. Kemudian setelah digempur pukulan keras dan telak, Kang Ruski memerintah lagi, "Hook."

Setelah menerima pukulan-pukulan dengan tempo yang nyaris sama. Kang Ruski menginsteruksikan arahan kombinasi dengan irama cepat seperti: jab, jab, uppercut! Kemudian: jab, straight, uppercut!

Sesudah beberapa waktu, Kang Ruski merasa latihan Bobby dengan bantalan cukup, ia memanggil salah satu anak yang tadi kemari bersama kami. Entah nama asli anak itu siapa, tapi dia dipanggil "Moeng" oleh semua orang di situ.

Moeng yang sudah melakukan pemanasan dan latihan dengan samsak terlebih dahulu pun naik ke atas ring. Sama seperti Bobby yang sedang mengganti sarung tangannya dengan model berbeda, Moeng juga melakukannya. Kali ini sarung tangan yang dipakai tidak tertutup semua. Bagian pada dua ruas jari-jari mereka tampak terbuka.

Kang Ruski kali ini bukan lagi bertindak sebagai pelatih, melainkan wasit. Dia berdiri di tengah-tengah mereka.

Tidak lagi duduk. Kali ini, aku berdiri di dekat ring untuk melihat pertarungan langsung antara Bobby dan Moeng.

Dalam hati, aku bertaruh bahwa Bobby akan mengalahkan Moeng dalam sepuluh menit. Pukulan-pukulan yang dilayangkan Bobby tadi sungguh luar biasa. Siapa yang bisa menangani itu? Aku yakin juga Bobby punya banyak teknik lain, karena ini bukan hanya boxing. Ini adalah pertarungan seni bela diri dengan aturan MMA. Kemampuan Bobby dalam mengunci pergerakan musuh juga akan diuji.

Kukira tebakanku tadi akan benar. Tapi dugaanku keliru.

"Lima puluh tujuh detik!" teriak si Agung di sebelahku. Dia memang ditugaskan menghitung waktu sejak pertarungan dimulai.

Untuk merayakan kemenangan Bobby, aku bertepuk tangan heboh seperti anak lima tahun yang sedang nonton sirkus. Bobby nyengir padaku ketika dia keluar dari ring. Sementara si Moeng, meskipun dia juga tahu kalau pertarungan itu hanya latihan, terlihat sangat tidak puas.

"Mau nonton si Aji dibantai?" tanya Bobby padaku sambil menghanduki keningnya yang basah kuyup oleh keringat.

"Di mana?" kataku padanya.

Bobby lalu membawaku ke ring yang paling ujung. Tak lama kemudian, Aji dan seorang pemuda lain yang dipanggil Tio naik.

Bobby mengajak aku bertaruh berapa lama Agung bertahan di atas ring sebelum menyerah.

"Lima menit," kataku.

Bobby menyeringai. "Empat puluh detik."

Aku menelengkan wajah padanya. "Emang si Tio ini jago?"

"Dia monster," kata Bobby. "Setan aja takut sama dia."

"Kalau siluman?" tanyaku bercanda.

Tapi Bobby tetap memasang wajah serius. "Takut juga." Lalu wajah serius itu melunak. "Tapi kalau lawan bencong, si Tio takut. Takut dicium."

Untuk pertama kalinya aku tertawa seharian itu.

Diam-diam, aku melirik Bobby yang sedang menenggak minumnya. Seketika itu juga aku merasa Bobby itu keren sekali. Dan aku membayangkan kalau aku jadi orang sekeren Bobby pasti rasanya menyenangkan sekali.

Kemudian, aku teringat jantungku. Dan serta merta aku merasa sangat kecewa.

* * *

Dalam perjalanan pulang menggunakan angkot, aku hanya berempat saja dengan Bobby, Agung dan Aji. Agung yang tadi dikalahkan oleh Tio dalam waktu satu setengah menit merasa bahwa itu adalah pertarungan terbaiknya. Bagaimana tidak, terakhir kali dia berhadapan dengan Tio, dia dikalahkan dalam waktu dua puluh tujuh detik.

"Kenapa kamu nggak sekolah?" tanya Bobby padaku. Karena tahu aku orang Jakarta, dia meminimalisir penggunaan bahasa Sunda padaku.

"Dikeluarkan," dustaku. Aku langsung merasa tidak enak berbohong pada teman baruku itu, tapi aku pun merasa tidak perlu menjawab dengan jujur yang ujungnya malah mendapat belas kasihan.

Lihat selengkapnya