Ketika esok paginya sarapan bersama ibuku, kubilang padanya kalau aku punya teman baru. Dengan bangga kusebut kalau namanya: Bobby. Kemudian kutambahkan juga beberapa nama seperti Aji, Agung dan Tatang dalam ceritaku.
Aku lalu menceritakan pada ibuku awal mula pertemuanku dengan Bobby di rental itu. Tentunya tak pernah kusebut kalau Bobby adalah seorang perokok yang suka bertarung. Bisa-bisa ibuku sakit kepala hebat kemudian pingsan mendengarnya. Maka, kubilang padanya kalau Bobby anak baik-baik yang sangat jago main Fifa di Playstation.
Kata ibuku, kapan-kapan Bobby boleh diajak makan malam di rumah kami. Itu jelas respons yang sangat kuharapkan. Kucium pipi ibuku, berterima kasih padanya. Ibuku senang karena aku punya teman di tempat ini.
* * *
Semalam, Bobby mengirimkanku chat di Whatsapp. Katanya, nanti kami janjian di depan jalan besar jam sebelas siang. Dia menyuruhku membawa kaos dan celana panjang untuk olahraga. Katanya, dia mau mengajariku beberapa teknik.
Jujur, aku agak khawatir soal ini ... dokter jelas sekali melarangku untuk terlibat aktivitas fisik yang melelahkan. Tapi, aku tidak ingin mengecewakan Bobby yang sudah mengajakku dan bersemangat ingin melatihku. Bobby tampaknya ingin aku punya pengalaman seru di sasana. Dan lagi menurut Bobby meski tubuhku kurus, tapi otot-ototku gembyor dan lembek. Tipe anak yang gampang diganggu preman dan terbang jika ada angin bertiup sedikit kencang.
"Sialan kau, Bob!"
"Makanya kamu harus besarin juga otot," timpal Bobby.
Ha. Aku tertawa ketika menukas dalam hati. Andaikan aku punya jantung Bobby—tidak, tidak, cukup jantung Kang Ruski-lah yang sudah berumur dan berlumut nikotin, mungkin salah satu to-do-list-ku tahun ini bukan bertahan hidup sampai tahun depan, tapi mengencangkan ototku dengan jadi anak gym.
Bench press, bar dips, front raise and pullover—semua langkahnya akan kulakukan sampai otot dadaku bisa naik-turun mengikuti irama musik dangdut.
Mungkin nanti aku bisa beralasan, tapi aku mengiyakan saja tawaran Bobby itu. Kupikir, jantungku sedang kuat belakangan ini.
Ya, semoga saja aku tidak mati di sana. Karena kalau aku mati di sana, Bobby pasti akan merasa bersalah.
Setelah memberi makan kedua kura-kuraku yang belagu, aku pamit kepada ibuku ketika ia sedang menjahit. Ibuku senang bersenandung ketika bekerja. Kucium tangannya sebelum pergi, dan ibuku memberiku uang dua puluh ribu rupiah untuk merental PS.
Ketika berjalan kaki ke depan kompleks, aku merasakan jantungku berdetak sedikit terlalu cepat. Kemudian aku buru-buru meminum air putih yang kubawa, beristirahat sebentar di bawah kanopi tukang tambal gigi, sebelum kembali berjalan dengan lebih lambat. Aku benar-benar harus berhati-hati dengan kondisiku. Aku ini mesin yang rusak parah.
* * *
Bobby terlambat lima belas menit. Dia datang sendirian, katanya teman-temannya sudah berangkat dari pagi.
Di angkot dia duduk di ujung belakang sebelah jendela. Sementara aku di sisi kanannya. Kutanya dia, apa hari ini latihannya akan seperti kemarin.
Dia mengangguk. "Nanti ada sparing sama Tio," gumam Bobby.
"Pernah menang lawan dia?"
"Satu kali," jawab Bobby.
"Dia menyerah? TKO?"
"Lupa," katanya sambil memandang jendela. Seperti biasa, Bobby selalu tampak merenung ketika di perjalanan. Aku tidak tahu apa dia tipenya senang berpikir sambil memandangi pemandangan, meratapi mobil-mobil, memberenguti matahari. Atau, dia memang sedang banyak masalah.
"Rem, kamu percaya nggak sama yang namanya kebetulan?" tiba-tiba Bobby menoleh seraya bertanya padaku.
"Kadang percaya. Orang bilang kebetulan itu takdir yang bikin kita terkejut," jawabku.
Bobby memandang lurus ke depan. "Kebetulan kamu mirip seseorang yang pernah saya kenal," katanya. "Rasanya seperti ada sesuatu yang akrab di kamu buat saya."
Aku menoleh padanya. Tapi, dia sudah kembali memandang jendela. Ditopikannya tudung hoodie kelabunya. Lalu sepertinya dia mulai tertidur dengan kepalan tangannya menjadi tumpuan.
* * *
Aku baru tahu kalau Bobby punya beberapa bekas luka yang menonjol menjadi keloid di punggungnya. Bentuknya memanjang dengan bagian menggelembung berwarna kemerahan. Itu bukanlah luka yang terjadi karena kecelakaan biasa. Aku bisa menyimpulkan seperti itu karena tahu luka akibat kecelakaan tidak akan seperti itu bentuknya. Terlalu simetris, seperti bagian yang sengaja dilukai oleh seseorang.
Tadinya, aku mau menanyakan perihal luka-luka itu, tapi kemudian aku mengurungkan niatku. Aku tidak ingin Bobby menjadi tidak nyaman dan terpaksa harus menjelaskan.
Aku juga punya luka yang mirip di dadaku, bekas operasi. Jadi, ketika berganti pakaian, aku menghadapkan tubuhku ke dinding supaya Bobby tidak bisa melihatnya. Aku juga belum punya alasan kalau ada orang yang menanyaiku.
Kata Bobby setelah dia latihan, dia akan mengajariku memukul yang istilahnya "Jab" dan "Straight". Aku tahu jenis pukulan apa itu. Jab itu adalah pukulan lurus ke depan yang digunakan sebagai awalan. Karena aku tidak kidal, Bobby akan melatih tangan kiriku. Memang begitu, pukulan jab memang dimaksudkan membuka serangan lain. Sedangkan straight, adalah pukulan lurus ke depan yang ditambahkan kekuatan dan tenaga.
Setelah peregangan dan pemanasan dengan samsak tinju. Bobby yang sudah mengenakan sarung tangan setengah jari memasuki ring. Sementara itu, Tio yang badannya sedikit lebih besar dan berotot ada di ujung ring, tengah bersiap-siap.
Jujur, aku tidak ingin si Tio itu siap. Aku ingin Bobby yang menang.
Seperti manager atau pelatih Bobby, kuposisikan diriku di kubu Bobby.
"Bobby," kupanggil dia dari bawah.
Bobby menoleh ke arahku.
"Jangan kalah," pesanku sambil melirik Tio dengan pandangan menantang. "Nanti makan lagi di rumahku."
Bobby ngangguk. Mulutnya seperti ingin tertawa. Tapi dia sudah dipasangi pelindung mulut, jadi aku tidak bisa membedakan ia tertawa atau nyengir saja.
Kang Ruski masuk ke arena untuk menjadi wasit. Pertarungan dimulai dengan sebuah isyarat tangan dari Kang Ruski.
Tio maju lebih dulu, kemudian kulihat Bobby berkelit. Pukulan Tio masuk ke wajah Bobby.
Aku mengerang. Si Aji, Tatang dan Agung yang berdiri di sebelahku juga mengerang. Kurasa, kita berempat adalah pendukung Bobby yang paling setia.
Lalu tahu-tahu si Moeng anak gempal yang dikalahkan Bobby kemarin berdiri di dekat kami. Dia memerhatikan dengan teliti pertandingan di atas ring layaknya seorang veteran judo yang menonton pertandingan juniornya.