Sang Putri dan Pangeran Pujangga

Ayu Anggun
Chapter #2

1. Puisi dan Binder Kesayangan

Tuhan …

Seandainya aku boleh tahu,

Kapan dapat kutemukan pangeranku?

Apakah dia benar-benar ada untukku?

Karena dalam mimpiku dia selalu bersembunyi.

 

***

“Yumi!!!” Sentakan suara berat itu mengagetkan Yumi yang sedang serius menulis sesuatu di bindernya. Dengan cepat ditariknya buku paket Fisika ke atas binder untuk menutupi apa yang baru saja tulisnya. Kemudian kepalanya langsung menoleh ke arah sumber suara dan matanya menemukan tatapan tajam Pak Asep Iskandar menghunjam tepat kepadanya.

“Lagi nulis apa kamu, teh? Kenapa dari tadi tidak mendengarkan penjelasan Bapak?” tegur guru Fisika sekaligus wali kelas 2-1 itu dengan logat Sundanya yang kental.

“Saya dengerin kok, Pak.” Sedikit keki, Yumi menyahut pelan. Senyum lugu tanpa dosa kini tersungging di bibirnya. Malu juga menjadi pusat perhatian karena ketahuan tidak memperhatikan guru saat jam pelajaran berlangsung.

“Atau kamu mau gantiin Bapak jelasin materinya di depan?” kata Pak Asep lagi.

“Nggak Pak, nggak!” tolak Yumi mentah-mentah. Mengerti saja tidak, bagaimana mungkin Yumi bisa menjelaskan materi yang sedang mereka pelajari.

“Ya sudah, sok atuh ditaruh pulpennya. Dengerin dulu penjelasan Bapak, ya,” kata Pak Asep lagi. Kali ini nada suaranya melembut seakan sedang membujuk anak kecil. Kalau sudah seperti ini, Yumi hanya bisa menurut. Tidak ingin mencari masalah dengan guru yang tidak pernah marah seperti Pak Asep. Yumi jelas tidak ingin menjadi orang pertama yang membuatnya marah.

“Iya, Pak!”

Yumi segera menutup binder yang tadi digunakannya kemudian kembali fokus menelusuri tiap baris rumus yang sedang dituliskan di papan tulis. Walaupun dia harus beberapa kali berjuang membuka kedua kelopak matanya yang entah kenapa selalu terasa berat di setiap jam pelajaran Fisika.

“Mi … Yumi, emang tadi lu lagi nulis apaan, sih?” tanya Hera Sarita yang duduk tepat di belakang Yumi sambil mencolek pundaknya dan berbicara dengan suara berbisik.

“Nih!” Yumi hanya menoleh sekilas sambil menyerahkan selembar kertas yang sempat menjadi fokusnya tadi.

Untung saja bel istirahat berbunyi dan menyelamatkan otak Yumi yang hampir terbakar karena barisan simbol rumus yang masih tidak dia pahami juga. Dari dulu sampai sekarang bahkan tidak ada satu pun rumus yang berhasil Yumi ingat. Jangankan untuk dihapal, untuk dilihat pun rasanya Yumi malas sekali. Ditambah lagi dengan gurunya yang seperti Pak Asep. Sering kali sudah menulis rumus begitu panjang, tetapi ternyata salah urutan.

Mungkin karena otak para guru Fisika itu terlalu jenius bila dibandingkan dengan otak pas-pasan milik Yumi yang rasanya setengahnya pun tak ada. Belum lagi seringnya Yumi kena tegur oleh Pak Asep seakan-akan hanya dia satu-satunya murid di kelas.

Pokoknya jangan bicarakan Fisika dengan Yumi kalau tidak ingin melihatnya mengaum seperti singa. Sungguh mengerikan!

Yumi meregangkan ke dua tangannya sambil menoleh ke belakang. Dia melihat alis Hera mulai naik dengan kening berkerut-kerut kemudian tiba-tiba tersenyum.

“Kenapa lu, Ra?” tanya Yumi heran.

“Mi, tulisan lu ini keren juga!” sahut Hera sumeringah saat Pak Asep sudah keluar kelas.

“Tulisan gue yang mana ya?”

“Itu loh, kertas puisi yang lu kasih ke gue tadi. Gue suka kata-katanya,” kata Hera sambil mengembalikan kertas milik Yumi.

“Oh ... tadi gue lagi iseng aja nulisnya. Abis bete banget sih!”

“Lu suka bikin puisi, ya?”

“Iya sih, kadang-kadang. Kalo lagi ada ide aja.”

“Mi, ke kantin yuk!” Suara centil dan manja Risa Purwanty, teman sebangku Yumi menginterupsi percakapan keduanya.

“Iya-iya. Ra, gue ke kantin dulu ya.”

Lihat selengkapnya