“Lagi-lagi karena uang panai?” Dengusan kesal keluar dari bibir Kenala. Kebencian tersirat di netra coklat terangnya yang tak jemu menatap langit kelabu.
Sudah dua kali ia gagal menikah karena uang panai. Kekasihnya tidak bisa memenuhi syarat dari keluarganya. Ia tahu betul bahwa bukan hanya keluarganya saja yang menentukan jumlah uang panai tersebut, melainkan statusnya yang masih berdarah biru, pendidikannya yang lulusan sarjana, dan pekerjaannya yang merupakan seorang penulis di Indonesia. Namun sampai kapan aturan seperti itu terus menjadi pengahalangnya dalam menuju ke jenjang pernikahan?
“Jika kekasihmu tidak bisa memenuhi uang panai yang keluarga kita syaratkan, itu artinya dia tidak sungguh-sungguh denganmu, Nala. Jika dia memang sungguh-sungguh denganmu, harusnya dia berusaha lebih keras untuk memberikan uang panai sesuai dengan yang ibu katakan karena kamu keturunan bangsawan, kamu juga lulusan sarjana, dan kamu pun akan lanjutkan pendidikanmu.” Sang ibu menimpali dengan suara yang sedikit ditekan.
Kenala berdecak. Selalu saja begitu sang ibu menimpali. Selalu perkara uang panai. Ia sudah bosan mendengar kata-kata itu keluar dari bibir perempuan yang sudah melahirkannya hampir duapuluh enam tahun lalu itu.
“Tapi sudah dua kali seperti ini, Bu. Apa ibu tidak lelah menolak kekasihku hanya karena uang panai yang tidak sesuai dengan syarat ibu itu? Lagipula itu hanya uang panai. Apa yang mau ibu banggakan dengan uang panai itu sebenarnya?Toh, Nala tidak butuh uang panai dalam jumlah yang besar, Bu. Nala bisa cari uang sendiri dan bisa membeli apa pun yang Nala mau. Jika calon suami Nala memang berasal dari keluarga sederhana apa salahnya? Yang terpenting dia mau kerja lebih giat lagi. Hidup itu tidak melulu soal uang panai, Bu.”
Persetan dengan uang panai! Ia benci dengan tradisi itu. Ia juga membenci bahkan merutuki siapa pun yang membuat aturan tentang uang panai tersebut.
Kenala masih ingat betul bagaimana kekasihnya yang pertama juga ditolak, hanya karena tak menyanggupi uang panai dari sang ibu. Tama, kekasihnya memilih menikah dengan perempuan lain dan ia berakhir sebagai tamu undangan. Kenala harus mati-matian menahan tangisnya ketika menghadiri pernikahan Tama. Kenala juga masih ingat, bahwa ia berakhir menyumbangkan sebuah lagu untuk Tama sebagai sebuah perpisahan. Sungguh sialan! Ia berulang kali mengumpat dalam batinnya saat itu.
“Hentikan semua ini, Bu!!” Nala menjeda ucapannya sejenak. Tatapannya yang dipenuhi kebencian itu masih menatap rentetan rinai hujan yang telah jatuh ke bumi.
“Jangan melakukan ini lagi hanya karena Ibu ingin dilihat memiliki strata lebih tinggi oleh orang-orang, karena Nala mendapatkan calon suami yang memberikan uang panai besar!” Nala menekan ucapannya dan ditatapnya tajam perempuan paruh baya yang ada di sisinya itu. Lantas Kenala melengos ke arah lain. Tatapannya malas. Ia juga malas untuk menjelaskan ribuan kali perihal uang panai yang acap kali mencekik para kaum laki-laki untuk meminang perempuan yang dicintainya itu.
“Kenala, dengarkan ibu baik-baik! Tradisi uang panai itu sudah turun-temurun dan itu adalah wujud penghormatan calon suami kepada istrinya. Ingat juga dengan latar belakang kita yang masih berdarah bangsawan. Jadi, jangan pernah meminta ibu untuk tidak memberlakukan uang panai pada calon suami kamu! Ingat itu!” Perempuan paruh baya itu berujar tak kalah tegas kepada Kenala.
“Sekarang, hapus air mata kamu! Jauhkan pikiranmu dari percakapan kita siang ini! Nanti malam kita akan kedatangan tamu, dia akan melamar kamu,” imbuh sang ibu sembari beranjak dari hadapan Kenala.
Kenala tersentak. Dadanya seperti dihantam batu besar ketika indera pendengarannya menangkap kalimat “ada yang melamar kamu.” Kenala rubuh di ambang balkon. Ia sandarkan tubuhnya di tepi pintu. Air bening jatuh dari pelupuknya yang tak bisa ia sangkal lagi kedatangannya.