Mimpi, rasanya masih seperti mimpi. Kenala tak pernah menduga bahwa ia akan kembali ke masa lalu, di masa Sawerigading yang sejarahnya selalu ia baca pada terjemahan naskah kuno. Ia juga tak menyangka jika ia berada di dalam tubuh I We Cudai, perempuan cantik yang nantinya akan menjadi istri dari Sawerigading, putra dari Raja Luwu.
“Selain itu apa yang aku tahu?” Kenala berusaha mengingat-ingat apa yang ia ketahui dari cerita I Lagaligo, khususnya tentang Sawerigading dan We Cudai. Ia menepuk-nepuk kepalanya lirih, mencari hal-hal yang pernah ia baca. “Bodoh sekali! Aku jarang sekali membaca kisah-kisah seperti itu! Aku tidak tahu selain hal ini. Sebenarnya kamu ini orang Makasar atau bukan? Hal seperti ini saja tidak tahu, Nala!!” Kenala merutuki dirinya sendiri.
Ia memijit pelipisnya gusar lantas beranjak dari balkon kamarnya. Sudah lebih dari setengah jam dia berada di sana dan hanya berkutat dengan pikirannya sembari menatap lautan terbentang di Negeri Cina. Sesekali pertanyaan demi pertanyaan membombardir Kenala. Bagaimana ia akan kembali ke kehidupannya? Bagaimana kisahnya selanjutnya? Ia benar-benar orang asing yang terjebak di dunia antah berantah yang tak pernah ia jamah.
Ketukan pintu yang pelan menggugah riuh benak Kenala. Ia juga mendengar sayup-sayup suara pelayan yang sudah membangunkannya beberapa saat lalu.
“Masuk! Pintunya tidak dikunci!” Kenala sedikit memekik, persis seperti bukan seorang putri yang lemah lembut.
Tak lama pintu kamar Kenala pun terbuka dan menampilkan seorang pelayan yang ia ketahui namanya adalah Camai. Camai mengenalkan diri kepadanya sesaat setelah ia bangun dari lelap. Camai lebih tua darinya tetapi, perempuan itu begitu menghormatinya. Ia tahu mungkin karena ia dikenal sebagai seorang putri dari Raja Cina.
Dari Camai ia mengetahui bahwa I We Cudai tak sadarkan diri setelah melakukan pelayaran singkat. Beberapa hari terakhir muncul desas-desus bahwa perairan La Tanete dimasuki armada asing, mungkin penyusup yang akan melakukan penyerangan terhadap istana. Saat itu, Raja Cina tidak ada di tempat dan I We Cudai memilih untuk turun tangan ditemani oleh beberapa pengawal.
Sialnya, kondisi laut sama sekali tidak bersahabat kala itu, badai hebat dan ombak tinggi menerjang kapal I We Cudai. Nahkoda kapal mengalami kewalahan mengendalikan kapal hingga berakhirlah kapal terguling.
Kenala benar-benar terpukul dengan fakta yang ia dengar dari Camai tersebut. Ia tak menduga jika I We Cudai mengalami hal yang nahas. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa I We Cudai tidak bisa berenang dan sebuah keajaiban saat itu pengawal dapat membantu I We Cudai untuk menepi ke daratan apalagi dengan kondisi badai laut yang hebat.
Beberapa saat usai Camai menjelaskan tentang I We Cudai, terbesit pertanyaan di benak Kenala. Bagaimana jika sebenarnya I We Cudai sudah tiada? Dan Kenala yang menggantikan keberadaannya?
“Putri...” Suara Camai menyapa indera pendengaran Kenala, mengguggahnya dari lamunan.
Ia buru-buru menghampiri Camai yang berada di ambang balkon. “Ada apa, Camai?”
“Ada Tuan Settiyabonga ingin bertemu,” pungkas Camai.
Kenala mengerutkan keningnya heran. Settiyabonga? Siapa lagi itu? Wajah kebigungan Kenala itu agaknya ditangkap dengan baik oleh Camai. Kekehan ringan juga keluar dari bibir Camai, senyum perempuan yang hampir menyentuh paruh baya itu lepas sempurna.