Sawerigading menatap lautan lepas yang dibelah oleh kapal besarnya, wangkang. Angin mendorong kapal besar itu semakin dekat dengan Negeri Cina. Ayahnya, Raja Luwu Batara Lattu mengatakan hal yang benar, bahwa kayu dari pohon welerennge raksasa benar-benar membuat kapalnya kokoh meski dihantam ombak yang hebat.
Masih jelas di ingatan Sawerigading ketika ia berusaha menebang pohon raksasa welerennge di hulu Sungai Saqdan. Saat menebang pohon raksasa itu, batang dan pangkalnya telah terpisah, tetapi pohonnya tetap saja tidak roboh. Namun, ia sama sekali tidak putus asa. Sawerigading kembali menebang pohon raksasa yang cukup ajaib itu, tetapi nyatanya kejadian yang sama kembali terulang untuk ketiga kalinya.
"Akhh! Pohon macam apa ini? Kenapa dia tidak roboh?" Sawerigading muak. Ia kesal dan memilih beranjak pergi.
Ia hampir putus asa saat itu apalagi setelah mencoba berulang kali hasilnya tetap sama saja. Meskipun ia kesal, keesokan harinya ia tetap kembali ke hulu Sungai Saqdan. Bak sihir, pohon raksasa itu sudah rubuh dan di sampingnya terdapat sebuah kapal yang siap ia gunakan untuk berlayar. Ia tak tahu-menahu siapa yang melakukannya, tetapi ia selalu berterima kasih dengan siapa pun yang sudah menebangkan pohon welerennge bahkan membuatkan kapal untuknya itu.
Perjalanannya menuju ke Negeri Cina memang bukanlah hal yang mudah, bukan hanya perihal ombaknya yang besar tetapi juga para tentara negeri Cina yang berpikir bahwa armada lautnya adalah penyusup. Ia juga bahkan bertemu dengan tujuh bajak laut yang hampir mempora-porandakan kapalnya dan mengambil kapal wangkangnya itu.
Ia menarik napasnya panjang, mengisi rongga dadanya dengan embus angin laut. Ia merogoh sesuatu dari saku jubahnya. Surai panjang nan lurus, gelang, dan cincin milik Wen Teriabeng, saudara kembarnya. Ia masih ingat betul ketika Wen Tenriabeng memberikan beberapa helai rambutnya, cincin juga gelang itu untuk dicocokan dengan rambut, pergelangan, dan jari manis I We Cudai,
“Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut I We Cudai, gelangnya tidak cocok dengan pergelangan tangannya, dan cincinku tidak cocok dengan jarinya, aku akan bersedia menikah denganmu.” Begitulah kata We Tenriabeng dan ia masih ingat betul akan hal itu.
“Kamu harus memenuhi janjimu jika I We Cudai tidak sepertimu, We Tenriabeng.” Ia berucap lirih dengan penuh keresahan di dalam dadanya, lantas dimasukan kembali beberapa helai surai panjang We Tenriabeng, gelang dan cincin tersebut kembali ke dalam sakunya.
Jika bukan karena saudara kembarnya, Sawerigading tidak akan pernah mengarungi lautan menuju ke Negeri Cina. Baginya We Tenriabeng sudah cukup. Sawerigading bahkan tak menduga jika ia memiliki saudara perempuan yang jelita, kecantikannya bahkan tak tertandingi oleh perempuan manapun.
Ia masih ingat betul ketika dijumpainya We Tenriabeng ketika di atas loteng. Matanya yang indah, wajahnya bak porselen itu memancarkan keteduhan. Ia jatuh hati seketika.
Namun ia harus patah hati setelah Raja Luwu tidak merestuinya untuk menikah dengan We Tenriabeng , karena perempuan itu adalah saudara kembarnya. Ia sudah berusaha membujuk sang ayah dan tetap bersikukuh menikah dengan We Tenriabeng. Sayangnya We Tenriabeng sendiri yang menolaknya dan memberitahu bahwa ada perempuan yang cantik sepertinya. Perempuan itu bernama I We Cudai yang merupakan putri dari Raja Cina yang berada di Istana La Tanete.
“Tuan…” Suara tangan kanan Sawerigading menyapa indera pendengarannya. Pria tinggi besar dan kekar yang selalu disebut Oputo itu tiba di sisinya.