Mendung kelabu menyapu Negeri Cina. La Tanete dilanda duka. Air bening tiada henti keluar dari pelupuk mata Kenala. Ia mengurung diri di dalam kamar dan masih dikenakannya pakaian hitam dari atas hingga bawah.
Ia kehilangan Settiyabonga. Pria manis yang memiliki lesung pipi itu gugur di laut setelah berusaha melawan armada asing yang hendak memasuki perairan Negeri Cina. Firasatnya benar-benar terjadi, bahwa Settiyabonga gugur dalam pertempuran itu. Rasa penyesalan meradang di dada Kenala.
'Harusnya saat itu aku bisa mencegah kepergian Settiyabonga dari La Tanete.' Batin Kenala tiada henti meracau. Ia benar-benar terluka karena kepergian Settiyabonga.
Memanglah Kenala baru pertama kali bertemu dengan Settiyabonga, tetapi entah mengapa ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Kenala berpikir mungkin karena ia berada di dalam tubuh I We Cudai, sehingga ia dapat merasakan kesedihan I We Cudai ketika ditinggal pergi oleh Settiyabonga. Entahlah, Kenala pun tak tahu. Ada perasaan aneh yang menjalar di dalam dadanya, bahkan ia sama sekali tiada bisa menghentikan bulir bening yang jatuh dari pelupuknya. Tak pernah ia merasa kehilangan seberat ini. Bolehkah jika Kenala meminta meskipun agaknya mustahil, ia ingin dipertemukan lagi dengan Settiyabonga kelak.
Angin dingin berembus dari lautan membelai surai legam Kenala. Membelai pipi pucat Kenala sehabis menangis tersedu itu. Seolah semilir angin itu memang dikirim khusus untuknya.
‘Inikah engkau Settiyabonga?’ batin Kenala.
Rasa hangat tiba-tiba menjalar dalam dada Kenala, persis seperti kali pertama ia mendapatkan dekapan dari Settiyabonga di taman samping istana La Tanete. Tangis Kenala kian hebat, ia berteriak histeris hingga tubuhnya bergetar.
Bersamaan dengan itu, suara ketukan ringan mendarat di pintu kamarnya. Sayup-sayup ia juga dengar suara pria paruh baya. Siapa lagi jika bukan Raja Cina. “Putriku, ini ayahanda. Bolehkah Ayah masuk?”
Kenala tak menimpali sejenak. Ia masih berusaha menetralkan perasaannya yang dilanda kesedihan tak berujung.
“Putriku?” Kembali lagi ia dengar sang ayah menyapa dari balik pintu kamarnya.
“Masuk, Ayah!” Kenala sedikit memekik dan tak beranjak dari duduknya. Ia masih bersandar di pintu balkon, menghadap ke lautan lepas dan bangunan-bangunan di La Tanete. Sayup-sayup ia dengar derap langah ke arahnya dan pria paruh baya itu duduk di sisinya.
Satu tepukan pelan tiba di pundak Kenala. Ia tahu bahwa itu adalah ayahnya, Raja Cina. Ia tak menoleh dan masih terpaku pada bangunan-bangunan di La Tanete, sedangkan air matanya tiada henti jatuh dari tempatnya.
“Ayah tahu ini semua berat, Putriku.” Pria yang sudah berusia paruh baya itu duduk di sisi Kenala. Lalu diusapnya bulir bening di pipi Kenala.
“Tetapi kamu harus berusaha mengikhlaskan Settiyabonga,” imbuh sang ayah.
Kenala manggut-manggut paham. “Aku akan berusaha, Ayahanda.”
Pria paruh baya itu membawa Kenala ke dalam dekapannya yang hangat. Tidak dibiarkan lagi putrinya menitihkan air mata. Tidak dibiarkan lagi putrinya memeluk kesedihan seorang diri. Tidak dibiarkan putrinya meratapi kehilangan Settiyabonga seorang diri. Itulah tugas Raja Cina sebagai seorang ayah, ingin selalu berada di sisi putrinya meskipun beberapa kali pria paruh baya itu tak ada di samping putrinya.
Tiada ucapan yang terlontar dari bibir pria paruh baya itu. Hanya usapan demi usapan kecil yang diberikan kepada Kenala dan rasa nyaman dapat Kenala rasakan.
“Putriku, sebenarnya ayah juga ingin memberitahu ada seseorang yang melamarmu."