“Apakah Raja Cina belum memberikan jawaban atas lamaranku?” Pertanyaan Sawerigading mendarat di indera pendengaran Oputo. Pria yang berperawakan tinggi, besar, dan sedikit berisi itu menggeleng. “Raja Cina belum memberikan kabar, Tuanku.”
Sawerigading meletakan pedang yang ia sedang bersihkan dengan kain berlapis emas. “Apa burung merpatimu tidak mendapatkan informasi dari Negeri Cina, Oputo?” Sawerigading bertanya-tanya, wajahnya agak gelisah.
Sudah lebih dari seminggu setelah Sawerigading melayangkan lamaran untuk I We Cudai. Namun, tak kunjung mendapatkan balasan. Keraguan dan kegelisahan acap kali menjalar dalam dadanya, setiap malam bahkan ia tak bisa terlelap dengan sempurna. Apa kurangnya ia sampai-sampai I We Cudai belum memberikan balasan atas lamaran yang ia berikan?
Harta dan benda yang ia siapkan sebagai mahar I We Cudai terpaksa dianggurkan begitu saja di dalam kapal. Ia bahkan belum berniat untuk kembali berlayar ke Negeri Cina, lantaran tak kunjung ada balasan dari lamarannya. Apakah itu artinya ia ditolak?
“Sebenarnya…” Oputo menjeda ucapannya yang seketika menggugah lamunan Sawerigading, hingga membuatnya menoleh pada Oputo tajam.
“Sebenarnya kenapa? Katakan, Oputo!” Sawerigading beranjak dari sisi meja kebesarannya. Ia menghampiri Oputo yang berdiri di dekat jendela Istana Luwu. Wajah Sawerigading menelisik pria yang menjadi tangan kanannya itu.
“Dua hari lalu, burung merpati saya mendengar kabar jika kemungkinan besar I We Cudai menolak lamaran Tuan. Dia berpikir Tuan tidak memiliki hati nurani, karena melamarnya di saat dia sedang berkabung atas kematian Settiyabonga.”
Sawerigading mendengus. "Karena kehilangan pria itu, dia tak kunjung menerima lamaranku dan menganggapku tidak memiliki hati nurani?" Ia lantas berdecak kesal. Ia melengos keluar jendela. Lautan lepas di pandanginya dan ingatannya jatuh ketika Sawerigading dan para armada lautnya hampir memasuki lautan La Tanete. Kapalnya terkepung berkali-kali dan itu mengakibatkan perjalanan menuju ke La Tanete menghabiskan banyak waktu.
Ia berhasil menghalau ketujuh bajak laut ketika di lautan Negeri Cina. Namun, pada terakhir pelayarannya dan hampir puluhan depa lagi sampai ke La Tanete. Armada yang dipimpin Settiyabonga menghadangnya. Settiyabonga dan beberapa prajuritnya melesat dan tiba di kapal wangkang miliknya.
Untuk pertama kalinya itulah Sawerigading bertemu dengan pria bernama Settiyabonga, pria dari Jawa yang merupakan tunangan I We Cudai. Apa hebatnya Settiyabonga sampai-sampai We Cudai menerima lamarannya? Itulah pertanyaan besar di kepala Sawerigading kala itu.
“Untuk apa kalian masuk ke lautan Negeri Cina dan La Tanete?” Satu pertanyaan yang Sawerigading dengar ketika ia berhadapan dengan Settiyabonga dan beberapa prajuritnya.
Sawerigading terkekeh ringan diikuti embus angin laut yang cukup hebat kala itu. Cuaca sedang tidak baik-baik saja, langit pun dipenuhi dengan awan kelabu yang siap menumpahkan rintik sendunya kapanpun.
“Aku sama sekali tidak berniat buruk, aku juga bukan pemberontak yang ingin mengusik Negeri Cina.” Sawerigading berucap jujur.