Kenala menatap selembar surat yang telah ia baca. Sebuah surat yang ia terima dari balik jendela beberapa waktu lalu. Seekor merpati berwarna kelabu yang memberikan untuknya. Surat itu diikat di leher sang merpati dengan tali rotan yang telah lembut. Di depan surat bertuliskan “Sang Rembulan dari Ujung Pandang.”
Kenala berdecak. Tiada ia kira bahwa Sawerigading yang mengirimkan surat untuknya, mengajaknya bertemu di dekat Sungai Lalabata ketika malam hari. Apakah Sawerigading menginginkan jawaban atas lamarannya?
Ia sengaja melakukannya, untuk tidak segera menjawab lamaran Sawerigading, bahkan ia sangat berniat untuk tak menerima lamaran tersebut. Kenala tahu apa yang ia harus lakukan. Ia harus memberi pelajaran kepada Sawerigading yang sudah membuat Settiyabonga, tunangan I We Cudai itu tiada.
Kenala juga ingat betul bagaimana Camai mendeskripsikan Sawerigading, setelah pelayannya itu ia titahkan mencari informasi tentang Sawerigading. Sawerigading yang menakutkan, berkulit hitam, dan dipenuhi bulu. Sifatnya pun beringas. Kenala tak menyukainya.
Akan tetapi jika I We Cudai dalam naskah I La Galigo mau menikah dengan Sawerigading, tentunya tak seburuk itu bukan? Kenala bertanya-tanya. Pengetahuannya yang minim akan cerita Sawerigading dan I We Cudai dalam naskah I La Galigo benar-benar membuatnya gelisah. Ia tak tahu bagaimana rupa Sawerigading. Ia hanya membaca garis besarnya saja, bahkan tokoh Settiyabonga pun ia tak tahu jika termaktub dalam naskah. Ia cukup menyesali diri karena tak banyak membaca kisah-kisah lama juga naskah-naskah lampau itu. Ia amat menyesal menjadi salah satu generasi muda yang acuh tak acuh. Sungguh mengenaskan.
Embus semilir angin dari balik jendela menyapu wajah Kenala. Perlahan-lahan tirai merah manggis di kamar Kenala pun terbawa angin. Beberapa kunang-kunang masuk melalui jendela. Untuk kali pertama setelah sekian lama, Kenala kembali mendapati binatang kecil yang menyala itu lagi di hadapannya.
Sudah berapa tahun ia tak pernah menjumpai kunang-kunang di dunianya yang modern itu? Agaknya sudah sangat lama. Entah ke mana sembunyinya kunang-kunang di dunianya. Mungkinkah karena banyaknya pembangunan dan minimnya lahan hijau hingga membuat kunang-kunang tak tampak lagi?
“Eh?” Kenala tersentak. Ia dapati beberapa kunang-kunang hinggap di lengannya. Perlahan kunang-kunang itu mengangkat Kenala hingga kakinya tak menapak lantai kamar.
“Kalian akan membawaku ke mana?” Kenala dengan spontan bertanya pada kunang-kunang yang berjajar di lengan kanan dan kirinya. Agak konyol dan tak masuk akal ketika ia bertanya dengan hewan yang sudah mesti tiada bisa bicara itu.
Kenala terbang dengan kunang-kunang itu. Ia tak bisa memastikan berapa banyak kunang-kunang yang membawanya terbang. Kenala mengabaikan jumlah kunang-kunang di kanan dan kirinya, ia memilih melihat ke mana hewan kecil yang menyala itu membawanya.
Angin kembali menyapu wajah Kenala. Pakaian sutra merah jambu panjang menutup tubuh rampingnya sesekali dibelai angin malam yang sedikit dingin. Bulan purnama terlihat teduh di langit malam. Kemerlap bintang juga terlihat jelas. Cuaca sedang bahagia, tiada kelabu yang menumpahkan airnya.
Beberapa saat usai Kenala dibawa terbang oleh kunang-kunang, sayup-sayup ia dengar gemersik air. Keningnya mengerut sempurna. “Sungai Lalabata?” Kenala bergumam. Kunang-kunang rupanya membawanya ke tepian Sungai Lalabata. Ingatannya seketika jatuh pada sebuah pesan yang digulung dengan rotan lembut dari Sawerigading. Pria itu meminta bertemu di tepi sungai Lalabata.
‘Itu artinya kunang-kunang ini utusan Sawerigading?’ Kenala membatin. Rasa kesal seketika menyapa dadanya. Ia tak menduga jika pria yang disebut-sebut beringas oleh Camai itu, secara tidak langsung memaksanya untuk datang ke tepi Sungai Lalabata.
Perlahan-lahan Kenala merasakan kakinya menginjak rumput dingin di tepi Sungai Lalabata. Ia sedikit oleng setelah kunang-kunang beranjak dari lengan kanan dan kirinya. Lantas ia seimbangkan tubuhnya hingga tegap.
“Dingin.” Kenala mengeluh, ketika kakinya yang tanpa alas itu menyentuh rerumputan tepi sungai yang sedikit basah. Ia juga rasakan embus angin malam yang sedikit lebih kencang menyapu kulit porselennya.
“I We Cudai, akhirnya kita bertemu juga.”
Suara berat menyentak Kenala. Segera ia menoleh dan didapatinya seorang pria rupawan yang mengenakan jubah tebal hitam. Seketika, Kenala memundurkan langkahnya, sedikit takut. “Si-Siapa kamu?”
“Sang Rembulan dari Ujung Pandang? Lupakah kau dengan pria yang mengajakmu bertemu di tepi Sungai Lalabata?”
Netra Kenala melebar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan. Dipandanginya tak jemu pria yang ada di hadapannya itu. Pria rupawan, tubuhnya tinggi besar, ia bahkan dapat melihat otot-otot menonjol dari balik jubah yang dikenakannya.