Kenala mematung di dekat dermaga. Netranya tiada jemu memandang kapal wangkang milik Sawerigading yang baru saja tiba dari Luwu di dermaga La Tanete tepat ketika senja bersemburat. Sudah tiga hari setelah ia memberikan jawaban lamaran untuk Sawerigading dan sudah tiga hari pula kapal wangkang itu tiada jemu mengirim mahar pernikahan. Masih ada dua bulan, dua puluh tujuh hari lagi kapal dari Lawu mengangkut Mahar ke La Tenete. Harus Kenala akui bahwa Sawerigading benar-benar memperjuangkannya, bahkan menyanggupi menerima mahar yang cukup berat itu.
“Putriku, ayah sangat senang kamu menerima lamaran dari Sawerigading.” Raja Cina yang ada di sisi Kenala itu bersuara.
Kenala mengerutkan kening keheranan dan menoleh pada sang ayah yang berdiri tegap di sisinya. “Apa yang membuat Ayahanda senang?”
Pria paruh baya itu mengulas senyum manisnya. Lalu dirogoh saku jubahnya. Raja Cina mengeluarkan helai surai legam dan panjang persis seperti surainya. Cincin dan gelang pun ditunjukannya kepada Kenala.
“Ini adalah milik We Tenriabeng. Rambutnya sama seperti rambutmu. Coba gunakan cincin dan gelangnya. Apakah pas dengan jari dan pergelangan tanganmu?”
We Tenriabeng? Siapa dia? Kenala belum pernah mendengar nama itu. Namun, ia turuti saja perkataan Raja Cina. Kenala mengenakan cincin di jari manisnya dan gelang di pergelangan tangannya. Ia sedikit tersentak. Gelang dan cincin yang ia pakai cukup di jari dan pergelangan tangannya, tidak longgar sedikitpun.
“Kenapa bisa pas di tanganku, Ayahanda? Apakah ukurannya sama?”
Senyum Raja Cina masih terlukis sempurna. Kemudian ditepuknya pelan pundak Kenala. “Wahai Putriku, Sawerigading rupanya sepupumu sendiri. Sawerigading adalah saudara kembar We Tenriabeng. Ayahnya, Raja Luwu merupakan saudara ayah. Dia membawakan ayah rambut, cincin, dan gelang We Tenriabeng untuk membuktikan kebenaran bahwa dia memang putra Raja Luwu,” pungkas Raja Cina.
“Setelah ayah melihat bahwa cincin dan gelang itu pas di jari manis juga pergelangan tanganmu. Ayah semakin yakin bahwa Sawerigading merupakan keponakan ayah. Ketahuilah juga, Putriku! Kau dan We Tenriabeng memiliki perawakan yang sama, sehingga cincin dan gelang We Tenriabeng bisa pas di tanganmu itu.”
Dunia memang sempit sekali, ia tak menyangka bahwa Sawerigading adalah keponakan Raja Cina. Mungkin karena itulah, Raja Cina juga bersikukuh membujuknya untuk menerima lamaran Sawerigading.
Ia masih ingat betul ketika Raja Cina berulang kali membujuknya untuk memikirkan ulang perihal lamaran Sawerigading setelah seminggu lebih ia abaikan. Jika bukan karena mimpi itu, ia tak akan pernah menerima lamaran Sawerigading. Tidak akan pernah. Terlebih lagi setelah kematian Settiyabonga yang rupanya dikarenakan oleh pria bermata tajam bak pisau itu.
“Ayah berharap pernikahanmu dengan Sawerigading nantinya dapat mempererat tali persaudaraan antara Luwu dan Negeri Cina, Putriku.” Raja Cina mengusap pelan surai Kenala.
“Ya, semoga saja, Ayahanda.”
“Ayah akan memeriksa keadaan di sekitar dermaga bersama dengan pengawal, pulanglah dulu ke Istana La Tanete,” lanjut pria paruh baya itu.
Kenala mengangguk sebagai tanda iya. Meskipun pada akhirnya, ia tak beranjak dari tempatnya sedikitpun. Ia masih enggan untuk pergi dari tepi dermaga. Netranya menjatuhkan pandang pada deretan barang-barang yang diturunkan dari kapal wangkang. Entah sudah berapa puluh barang yang diturunkan dari sana dan tiada habisnya.
‘Jadi karena ini, tradisi uang panai terus berlanjut bahkan sampai masa kehidupanku?’ Kenala kembali membatin.