Dalam sebuah adat Luwu, orang Luwu tidak diperbolehkan menerima pinangan dari orang yang berasal dari suku lain. Namun, Raja Bone melayangkan sebuah lamaran untuk Putri Tadampalik, putri dari Datu Luwu. Datu Luwu memikirkan matang-matang perihal menerima ataukah tidaknya lamaran yang bertentangan dengan aturan adatnya itu.
“Apakah Datu sudah memikirkan matang-matang untuk hal ini?” Seorang penasihat kerajaan bertanya.
“Aku tidak punya pilihan lain selain menerima pinangan dari Raja Bone. Aku tahu bahwa yang aku lakukan melanggar adat, tetapi aku melakukan ini untuk menghindari peperangan. Aku tidak ingin rakyatku sengsara hanya karena menolak lamaran Raja Bone,” pungkas Datu Luwu.
Alhasil, lamaran tersebut diterima dan diberikannya kabar membahagiakan tersebut kepada Raja Bone. Sayangnya, usai lamaran tersebut diterima, Putri Tadampalik mengalami penyakit kulit yang berbau.
“Apakah penyakit kulit Putriku tidak bisa disembuhkan, Tabib?” Suara Datu Luwu begitu risau, apalagi ketika melihat putrinya yang mengenaskan dengan penyakit kulit itu.
“Mohon ampun, Datu! Saya tidak bisa mengobati penyakitnya. Ini penyakit yang langka,” pungkas Tabib.
Datu Luwu merasa iba kepada putrinya. Pria yang usianya telah menyentuh paruh baya itu memutar otaknya. Sampailah pada keputusan bahwa ia memilih untuk mengasingkan Putri Tadampalik. Datu Luwu tiada ingin penyakit yang diderita putrinya itu menular ke warga.
“Maafkan ayahanda, Putriku.” Pria paruh baya itu terisak di depan putrinya. “Ketahuilah bahwa keputusan ini berat bagi ayah. Tetapi demi rakyat Luwu, ayah terpaksa mengasingkanmu,” imbuhnya.
Tiada kesedihan di wajah Putri Tadampalik. Perempuan jelita itu mengulas senyum manisnya. “Ayahanda tidak perlu bersedih. Tadampalik tahu bahwa keputusan Ayah ini benar, demi rakyat Luwu.”
Datu Lawu manggut-manggut. Lalu diberikannya sebilah keris kepada putri kesayangannya. “Gunakan ini jika saat-saat terdesak. Ini akan melindungimu.”
“Terima kasih, Ayahanda.”
“Berhati-hatilah, Putriku!”
Datu Luwu menatap kepergian putri kesayangannya. Beruntungnya, Putri Tadampalik tidak seorang diri menuju keluar kerajaan. Putri Tadampalik ditemani beberapa pengikut setianya.
Perjalanan panjang dan jauh ditempuh Putri Tadampalik serta beberapa pengikutnya hingga langkah mereka berhenti di sebuah pulau. Pulau itu subur dan memiliki udara yang sejuk. Tiada seorang pun yang berada di pulau tersebut, hanya Putri Tadampalik dan beberapa pengikutnya. Wajo, mereka memberikan nama pulau itu dan Putri Tadampalik serta pengikutnya mulai membangun kehidupan di sana.