Sang Rembulan dari Ujung Pandang

Blue Sky
Chapter #13

I We Cimpau

Kenala berusaha mati-matian menepiskan segala kejadian aneh yang ia alami. Ia berusaha melupakan tentang kejadiannya yang kembali ke masa lalu itu, ia menghalau benaknya untuk melupakan Sawerigading, upacara pernikahannya, Negeri Cina, dan segalanya. Tiada ingin Kenala berharap kepada hal-hal yang entah ia pernah atau mungkin tidak pernah ia alami secara langsung itu.

Namun, jika ia tak pernah mengalaminya, tidak mungkin cincin dan gelang We Tenriabeng sampai dikenakannya bukan?

Kenala menatap cincin dan gelang yang dipakainya itu. Ia lalu menghela napasnya panjang dan ia lepas kedua benda itu dari jari manis juga pergelangan tangannya. Kenala simpan kedua benda itu pada sebuah kotak beludru berwarna merah manggis.

“Tidak ada waktunya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik aku menyiapkan segala hal sebelum aku ke Yogyakarta,” pungkas Kenala.

Beberapa hari lagi, Kenala akan meninggalkan Makasar untuk melanjutkan kuliah masternya di Yogyakarta. Jauh-jauh bulan sebelum Rahmat melamarnya, Kenala telah memantapkan hati untuk melanjutkan pendidikannya. Untuk pendidikan masternya, Ia memilih mengambil program studi Sastra Indonesia murni selaras dengan pendidikannya ketika sarjana.

Baginya mempelajari sastra adalah hal yang paling menyenangkan, meskipun harus ia akui bahwa ia pun belum mahir dalam bidangnya itu. Sosiologi sastra, semiotika, intertekstualitas, sastra bandingan, dan semua teori yang terkadang membuatnya pusing tujuh keliling. Namun siapa sangka dengan mengenal sastra ia semakin jatuh cinta dengan menulis, terutama menulis novel.

Kenala masih ingat betul ketik kecil, ia selalu dibelikan banyak buku cerita, banyak cerita fabel yang ada di rak bukunya. Ketika dewasa, ia selalu tertarik dengan mitologi Yunani dan Romawi. Mengenal Zeus, Poseidon, Hades, dan semua Dewi Yunani adalah hal yang menyenangkan. Harus Kenala akui bahwa ia lebih tertarik cerita klasik Yunani dan Romawi ketimbang cerita klasik dari Indonesia.

Kenala teringat akan kisah Sawerigading dan I We Cudai pada naskah I La Galigo. Sebuah kisah yang tidak ia baca secara menyeluruh dan hanya ia ketahui cerita singkatnya dari sebuah blog. Haruskah Kenala membacanya?

Kenala berhenti mengemasi pakaiannya ke dalam koper yang akan ia bawa ke Yogyakarta. Ia menimang-nimang keputusannya. “Baca tidak ya?” Kenala berpikir sejenak.

“Ah… lupakan saja! Lagipula itu hanya mimpi, tidak perlu dipikirkan, Kenala.” Kenala kembali menyangkal dan memantapkan hati bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi belaka.

Kenala kembali mengemasi beberapa pakaiannya dan memasukannya ke dalam koper. Ia juga membawa beberapa buku yang belum sempat ia baca. Ia juga menyiapkan laptop yang harus ia bawa, di dalamnya ada beberapa hal penting termasuk naskah-naskah novelnya yang masih mangkrak selama beberapa bulan terakhir.

“Nala!” Suara sang ibu dari balik pintu menyapa indera pendengarannya.

Kenala dapati perempuan paruh baya itu menyembulkan wajahnya dari balik pintu. “Packing?”

Kenala manggut-manggut mengiyakan. “Ada apa, Bu?”

“Ada teman kamu, tuh!

Lihat selengkapnya