Sang Rembulan dari Ujung Pandang

Blue Sky
Chapter #14

Kebetulan atau Bukan Kebetulan?

“Bisa gila aku memikirkan hal yang sama setiap hari seperti ini.” Kenala mengusak surai legamnya kesal. Ia rebahkan tubuhnya di ranjang. Benaknya tiada henti memikirkan perihal I We Cimpau dan segala mimpinya.

Kenala baru berusaha menepiskan segala hal yang ia alami dan menganggap itu hanya mimpi belaka. Namun, kedatangan perempuan yang memiliki nama sama seperti yang ada di mimpinya membuat Kenala gusar setengah mati.

“Sebentar lagi aku akan pindah ke Yogyakarta. Aku harap, aku bisa melupakan segala yang aku alami di sini,” ujar Kenala penuh harap.

“Ya, sebentar lagi,” ulang Kenala kemudian dipejamkannya netranya. Netra coklat terang Kenala menjemput gelap.

Satu ketukan pintu di kamarnya menyentak Kenala. Ia berdecak. Ia gagal tidur siang. Netra yang semula terpejam itu menjadi melebar sempurna.

“Nala! Kenala!” Suara ibunya memekik dari balik pintu.

“Sebentar!” Kenala tak kalah memekik. Ia beranjak dari ranjang empuknya. Langkah panjang Kenala melenggang ke pintu dan ia buka pintu yang sudah dikuncinya itu.

“Ada apa, Bu? Kenala ingin tidur siang,” keluh Kenala.

Tangan perempuan paruh baya itu bersedekap. “Tidak ada tidur siang hari ini. Antar ibu ke kedai kopi. Teman-teman SMP ibu berkumpul di sana,” pungkas sang ibu.

Kenala menganga. Tidur siangnya rusak hanya untuk diminta mengantar ke kedai kopi. Batinnya sedikit merutuk. “Kenapa tidak diantar Pak Joko saja, Bu?”

“Pak Joko sedang sakit, Kenala. Dia tidak datang hari ini. Sudahlah, antar saja ibumu ini. Lagipula jika kamu kuliah di Yogyakarta, kamu tidak akan direpotkan seperti ini lagi,” timpal sang ibu.

“Kamu juga bisa menikmati makan di kedai nanti,” imbuh perempuan paruh baya itu.

Kenala menghela napasnya panjang. Ia pasrah. Tak bisa lagi ia menolak permintaan ibunya itu. Kenala beranjak ke kamar lagi. Ia kenakan jaketnya untuk menutup kaus pendek yang dikenakannya. Ia juga tak banyak memoles wajahnya. Ia cukup malas, apalagi ia keluar untuk tidak bertemu dengan siapa-siapa. Ia hanya mengenakan lip balm agar bibirnya tak kering.

Surai legam Kenala yang berombak sengaja diikat. Cuaca sedang terik-teriknya, ia tak ingin kepanasan hanya karena surainya yang digerai.

Usai bersiap, langkah panjang Kenala beranjak dari kamar. Ia melenggang menuju ke mobil yang masih berada di garasi. Tidak lama setelah ia keluar dari kediaman yang dibalut cat putih salju itu, ibunya pun tiba di pelataran.

Perempuan paruh baya itu mengenakan dress satin berwarna merah manggis. Ibunya terlihat masih segar meski usai menginjak usia 57 tahun. Kenala harus akui bahwa ibunya sangat tangguh dan kuat. Perempuan paruh baya itu sudah ditinggal suaminya beberapa tahun silam dan harus berjuang seorang diri untuk menyelami sisa kehidupan. Ia tahu betul bahwa ibunya acap kali merasa kesepian setelah pria yang dicintainya pergi dari dunia. Sesekali ia dengar sang ibu menangis akibat kerinduan yang tak terbantahkan. Bagaimana caranya melepaskan kerinduannya? Bertemu pun tiada bisa. Hanya doa-doa yang bisa menjadi pengantar rindunya.

Kenala masih ingat betul ketika ia didekap oleh Raja Cina. Saat itu sebenarnya Kenala merasa begitu nyaman. Ia merasa dipeluk oleh ayahnya sendiri. Ia benar-benar rindu dengan pelukan ayahnya dan takdir mempertemukannya dengan Raja Cina. Ada untungnya ia bermimpi dan bertemu dengan Raja Cina, karena rindunya sedikit terobati.

Mobil hitam yang dikemudikan Kenala menembus jalanan kota Makasar usai meninggalkan kediamannya. Di perjalanan yang tak terlalu mulus itu, ia dapati sebuah insiden. Truk pengangkut minyak goreng terguling. Ia lihat banyak warga berhamburan mengambil minyak goreng itu dan dimasukkan ke wadah-wadah yang mereka bawa. Mengapa setiap terjadi kecelakaan truk yang membawa muatan bahan pangan orang-orang selalu mengambil keuntungan?

Kenala merasa iba dengan sopir truk tersebut. Sopir truk itu pasti mendapatkan ceramah panjang dari pemilik pabrik minyak, bahkan sopir truk harus mengganti rugi.

Lihat selengkapnya