Kenala menginjakan kaki di kota yang digadang-gadang sebagai Kota Istimewa dan Kota Gudheg. Ia siap memulai kehidupan baru di kota orang setelah meninggalkan tempat kelahirannya, Makasar. Kedatangannya ke Yogyakarta selalu ia harapkan agar segala tentang mimpi dan pertemuannya dengan orang-orang yang memiliki nama sama seperti di mimpinya itu sirna.
Namun segalanya hanya keinginan semata. Ia datang ke Makasar bersama I We Cimpau, sepupu Zea. Ia dan I We Cimpau berada di satu pesawat yang sama dan rupanya ia pun akan meninggali kos yang sama juga. Untuk kesekian kalinya, ia dihadapkan kebetulan beruntun.
Kini Kenala dan I We Cimpau berada di mobil yang sama untuk menuju ke sebuah kos yang akan mereka tinggali. Tiada percakapan yang keluar dari kedua bibir ranum perempun asli Makasar itu. Keduanya sama-sama menatap ke luar jendela. Agaknya mendung yang mengepung langit Kota Yogyakarta lebih indah ketimbang saling berbicara.
Belum menginjak musim penghujan, namun rintik sendu dari sang kelabu telah membelenggu Yogyakarta. Kenala selalu menyukai mendung meski selalu membuatnya lebih sedih ketimbang langit biru terang tanpa awan. Mendung selalu membuatnya hanya mendekam di kamar dan tiada melakukan aktivitas apa pun selain menulis.
Kenala selalu menyukai Yogyakarta padahal tak pernah sekalipun ia menginjakan kaki di tanah Sultan itu. Ia hanya melihat dari media sosialnya bagaimana keindahan juga keagungan Yogyakarta. Lampu-lampu kokoh yang berbentuk indah, sangat khas sekali dan kali ini Kenala dapat melihat lampu-lampu itu di tepi jalanan. Pengamen yang ada di perhentian lampu merah Yogyakarta dan itu membuatnya merasa terhibur. Andaikan di kota lain ada hal serupa, pasti sangat menyenangkan.
Yogyakarta, selalu ia anggap sebagai kota budaya. Banyak pagelaran budaya yang masih terpelihara dan itu yang membuat Yogyakarta menjadi kota istimewa. Kenala harus akui, bahwa kedatangannya ke Yogyakarta bukanlah sekadar untuk melanjutkan pendidikan master, melainkan untuk mengenal Yogyakarta lebih jauh.
Getar ponsel Kenala menghalau fokusnya. Ia alihkan pandang dari luar jendela pada ponsel yang ada di tangannya. Nama sang ibu tertera di layar, sebuah pesan masuk. Senyum Kenala mengembang ketika membaca deretan kata dari perempuan paruh baya itu. Baru saja ia tiba di Yogyakarta, tetapi ibunya sudah rindu.
“Ada apa, Nala?” Suara I We Cimpau memecah fokus Kenala.
Kenala menoleh pada perempuan yang ada di sebelahnya itu. “Ibuku, dia bertanya apakah aku dan kamu sudah sampai Yogyakarta atau belum. Dia juga mengatakan jika rindu kepadaku,” pungkas Kenala.
“Oh.” I We Cimpau mengangguk ringan. “Ibumu sangat menyayangimu ya. Aku jadi iri,” celetuknya.
Kenala mengerutkan keningnya. Mengapa tiba-tiba perempuan yang ada di sisinya itu mengatakan hal demikian? Ia jarang sekali berbicara dengan I We Cimpau, tetapi kali ini perempuan yang berperawakan lebih kecil darinya membuat Kenala bertanya-tanya.
“Kenapa?”
I We Cimpau menarik kedua sudut bibirnya. Senyumannya getir. Perempuan itu menoleh kepada Kenala. “Ibuku memilih pergi meninggalkanku. Dia pergi dengan selingkuhannya ketika aku masih SMP. Aku dirawat oleh Ayahku dan Nenekku sejak saat itu,” pungkas I We Cimpau.