"Aku tidak menyangka dapat bertemu Kak Juna lagi di sini. Aku pikir Kak Juna sudah pindah dari Yogyakarta." I We Cimpau berbicara dengan penuh keriangan. Perempuan itu bahkan tak kunjung melepaskan rangkulan tangannya pada lengan pria yang selalu dipanggilnya Juna.
Kenala yang mengekori keduanya melenggang ke dalam kediaman minimalis yang dibalut cat dominan putih itu. Ia agak canggung dan merasa seperti orang asing di antara dua orang yang rupanya sudah saling mengenal.
Jika boleh memutar waktu, ia lebih memilih untuk tak ikut masuk ke dalam kediaman pribadi pria bernama Juna itu. Sayangnya I We Cimpau menariknya untuk turut serta bersamanya. Juna juga melakukan hal sama, mengajaknya untuk makan bersama-sama.
"Aku masih tetap di Yogyakarta sampai kuliah S2 selesai, We Cimpau. Setelah itu, aku akan ke Jakarta untuk mengurus pekerjaanku." Pria itu meletakan tas punggungnya di sofa.
I We Cimpau duduk di sofa ruang tamu kediaman Juna, sedangkan Kenala memilih untuk mematung di tepi sofa. Wajah Kenala yang canggung dan sedikit risi itu ditangkap oleh Juna. Pria itu tersenyum teduh lalu mengulurkan tangannya pada Kenala.
"Kita belum berkenalan sejak tadi. Aku Arjuna. Kamu?"
Kenala yang sedikit malu-malu akhirnya menjabat tangan Arjuna. Senyum manis Kenala merekah indah hingga membuat kedua netranya menyipit. "Kenala Hadi, Kak. Panggil saja Kenala atau Nala," pungkas Kenala.
Arjuna terpaku. Pria itu tiada mengalihkan pandang ataupun berkedip sedikitpun. Netranya yang beriris terang itu terjebak pada mata bulan sabit Kenala, mata yang menutup karena tersenyum tulus.
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Satu pertanyaan mendarat di telinga Kenala. Pertanyaan yang sedikit aneh baginya.
Kenala menggeleng sembari melepaskan jabat tangannya dari Arjuna. "Belum, Kak. Ini pertama kalinya aku ke Yogyakarta."
Arjuna manggut-manggut menimpali. "Rasanya seperti tidak asing." Juna berujar lirih.
"Apakah Kak Juna kira wajah Kenala pasaran?" I We Cimpau berceletuk, lalu mendengus kesal.
Gelak tawa Juna keluar begitu saja. "Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tidak asing saja."
Kenala tersenyum canggung lagi. Ia kembali teringat kali pertama netranya bertemu dengan netra Arjuna sesaat lalu. Ia pun merasakan hal sama. Mata tajam itu persis seperti netra Sawerigading. Bedanya, Arjuna memiliki iris coklat yang amat terang.
"Sudahlah, sebaiknya kita makan sama-sama. Aku yakin kalian pasti lapar."
Arjuna mengajak I We Cimpau dan Kenala beranjak dari ruang tamu. Untuk kedua kalinya, Kenala seperti nyamuk bagi kedua manusia yang selalu menempel itu. I We Cimpau menggandeng lengan Arjuna, sedikit clingy.