Kenala membuka kopernya. Ia menata helai demi helai pakaian ke dalam lemari yang ada di kosnya itu. Selepas kembali dari kediaman Arjuna dan tak sengaja bertemu dengan Settiyabonga, ia memutuskan masuk ke dalam kosnya. Kenala memilih untuk beristirahat, apalagi perjalanan dari Makasar ke Yogyakarta cukup menguras tenaganya.
Helai pakaian telah rapi tersusun di dalam lemari. Kenala lantas kembali menutup kopernya yang telah kosong. Pada bilik kecil kopernya, dilihatnya sebuah kotak beludru berwarna merah manggis. Kenala mengerutkan kening keheranan.
“Bukankah aku tidak membawa kotak ini?” Kenala ingat betul bahwa ia tak memasukan kotak beludru yang berisi cincin juga gelang We Tenriabeng. Kenala ingat bahwa ia meletakan kotak itu di atas nakas dan tak memindahkan ke lain tempat. Lantas mengapa bisa kotak itu ada di dalam kopernya?
“Atau mungkin aku yang salah ingat ya?” Kenala kembali bertanya-tanya sembari mengingat apakah ia yang meletakan kotak beludru berwarna manggis itu ke dalam kopernya.
Kenala berdecak. Ia menepiskan pertanyaan itu dan memilih merebahkan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Untuk kali pertamanya ia akan terlelap di kota yang bukan tempat asalnya. Untuk kali pertamanya, Kenala menjadi anak rantau. Ia merasa penasaran tetapi juga sedikit takut, apalagi ia jauh dari sang ibu.
Kenala menatap plafon putih kamar kosnya itu. Suara rintik hujan mulai terdengar sayup-sayup seperti sebuah melodi indah pengantar tidur. Kenala mulai mengantupkan netranya menjemput gelap.
Satu ketukan mendarat di telinga Kenala. Mata yang hampir tertutup itu kembali terbuka. Kenala berdecak. “Kenapa selalu seperti ini? Aku hanya ingin tidur, lagipula ini sudah malam.” Kenala menggerutu kesal.
Ia lantas bangkit dari ranjang dan melangkah ke pintu. Netranya mendapati keberadaan I We Cimpau di hadapannya.
“Apakah aku mengganggu?” tanyanya.
Kenala tak menimpali dan hanya mengembangkan senyum tipisnya. Ia berpikir bahwa senyumannya telah menjadi jawaban.
“Maafkan aku jika aku mengganggumu. Aku ke sini hanya meminta maaf. Kamu pasti merasa terabaikan karena aku yang selalu asik dengan Kak Juna. A-Aku tidak bermaksud untuk melakukan seperti itu, Nala. Aku hanya spontan saja melakukannya, mungkin karena aku sudah lama tidak bertemu dengannya,” jelas I We Cimpau.
Sepersekian detik Kenala tersentak, tidak ia duga bahwa I We Cimpau meminta maaf kepadanya. Apakah kepergiannya sesaat lalu terlalu kentara bahwa ia merasa jengkel?
"Itu wajar, lagipula sebelumnya aku juga tidak kenal denganmu dan Kak Juna. Jadi, aku memang memilih pergi dan membiarkan kamu dan Kak Juna untuk saling membalas rindu. Itu saja."