Ada keluarga miskin di suatu tanah antah-berantah. Keluarga kecil itu terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang masih kecil bernama I Kukang. Setiap hari, sang ayah membanting tulang untuk menghidupi keluarganya, mengumpulkan kayu bakar dari hutan dan dibawa ke rumah orang kaya untuk dijual. Pekerjaannya memanglah berat tetapi upah yang diterima sama sekali tidak setimpal dengan tenaga yang dikeluarkannya.
Sang ibu dari bekerja di kebun setiap harinya, sedangkan I Kukang berada di dalam rumah, tertidur tanpa alas, tanpa bantal dan tanpa kain yang menyelimuti.
Pada suatu hari, kebun si miskin telah berbuah. Keluarga si miskin bahagia dan akan memanen hasil kebun yang telah lama dinanti. Namun, tiada disangka, kerbau milik si kaya datang ke kebun si miskin dan melahap semua tanaman si miskin.
Kesedihan melanda keluarga si miskin. Hasil panen yang dinantikannya tak bisa mereka dapatkan. Keluarga si miskin akhirnya mendatangi orang kaya mengadu atas perbuatan kerbau miliknya.
Namun, orang kaya tiada mengindahkan sedikitpun dan malah mengancam keluarga si miskin. Si kaya mengatakan tidak akan membeli kayu-kayu milik si miskin lagi, bahkan berniat membunuh mereka.
Dengan lapang dada, pasangan si miskin itu pergi dengan tangan kosong. Pasangan si miskin sebenarnya sakit hati dengan perkataan orang kaya tersebut, terlebih lagi dengan ancaman yang dilayangkannya.
Tidak lama setelah keluarga si miskin mendapatkan perlakuan buruk dari si kaya, keluarga si miskin harus menghadapi hal yang nahas. Ayah Kukang meninggal dunia. Kesedihan kian mendera keluarga si miskin ditambah lagi tiada seorang pun yang datang menjenguk mayatnya bahkan mengantar ke kuburnya.
Istri si miskin akhirnya meminta pertolongan kepada abdi si kaya untuk mengantarkan suaminya menuju peristirahatan terakhirnya. Maka dikuburlah ayah Kukang dalam dingin dan gelapnya pusara.
Selepas kepergian ayah Kukang, keluarga si miskin makin sengsara. Istri si miskin bersama dengan putra kecilnya menjalani sisa kehidupan mereka meski begitu terjal. I Kukang bahkan tak memiliki baju juga celana, sedangkan istri si miskin itu hanya mengenakan sarung yang telah usang dan robek.
Kejadian menyedihkan semakin membuat istri si miskin dan Kukang kian merana. Rumah yang menjadi tempat bernaung mereka roboh dan tiada pilihan lain selain mereka pindah. Istri si miskin memutuskan untuk mengajak putra kecilnya tinggal di sebuah gua. Keduanya dipeluk kedinginan dan terbiasa dengan segala hal yang ada di alam.
Waktu berputar begitu cepat, selama keduanya tinggal di gua, Kukang tumbuh menjadi seorang pemuda yang rajin. Kukang bahkan belajar ilmu bela diri, hingga ia menjadi seorang pendekar yang disegani.
Selang waktu akhirnya Kukang menjadi seorang penguasa negeri, sedangkan orang-orang kaya yang semula berbuat buruk kepada I Kukang dan keluarganya menjadi orang termiskin di negeri itu.
"Dunia memang benar-benar berputar." I We Cudai berucap. Tatapannya begitu dalam usai mendengar cerita dari Sawerigading.
Sawerigading manggut-manggut menimpali. Ia raih tangan I We Cudai. "Apabila suatu saat nanti, aku bukan terlahir dari bangsawan, kau tetap mau menikah denganku?"
I We Cudai mengerutkan kening keheranan. Tiba-tiba pertanyaan itu mendarat di telinganya. "Kenapa bertanya seperti itu?"