Kenala membuka netranya yang terpejam. Helaan napasnya sedikit tak beraturan. “Aku mimpi lagi?” Ia mengeluh sembari mengusap wajahnya dengan kasar, lalu ia usap surai legamnya sedikit gusar.
Ia sambar ponselnya yang ada di atas meja. Dilihatnya jam yang tepat pukul 22:00. Itu artinya ia baru tidur sekitar dua jam-an. Kenala kembali berdecak. Ia baru saja tidur beberapa saat dan ia harus terbangun karena mimpi. Kenala lantas menyambar sebotol air mineralnya. Tenggorokannya benar-benar kering dan harus dilegakan.
“Sepertinya aku butuh udara segar,” gumamnya.
Kenala beringsut dari ranjang. Ia ambil jaket tebal untuk menutupi tubuhnya yang mungkin kedinginan nanti. Ia juga mengambil beberapa lembar uang dan dimasukan ke saku. Tanpa polesan apa pun dan hanya lip balm, Kenala beranjak dari kamar kosnya.
Harapannya sebelum tiba di Yogyakarta adalah dapat melupakan semua hal tentang Sawerigading dan mimpi-mimpinya yang sedikit tak masuk akal itu. Namun, agaknya harapan Kenala sama sekali tiada terkabul. Setelah sekian lama ia tak mimpi lagi, ia kembali bermimpi dan lagi-lagi mimpi tentang Sawerigading juga I We Cudai.
Langkah jenjang Kenala membawanya tak tentu arah. Ia tak tahu harus ke mana, apalagi ia hanya seorang perantau di negeri asing yang sebelumnya tak pernah ia pijaki.
Kenala teringat ada sebuah kedai kopi yang tak jauh dari kosnya. Ia pikir kedai kopi itu buka 24 jam, apalagi dekat area kampus. Tak ada tujuan lain selain kedai kopi.
Sesekali ketika di tepi jalan, ia menendang botol sampah yang sedikit berceceran. Ada bank sampah yang terletak berseberangan dengan kampusnya. Ia bahkan bisa mencium aromanya yang tak sedap.
“Nala!” Suara pekikan menyapa telinga Kenala. Ia mencari-cari siapa yang memanggilnya.
Netra Kenala menangkap keberadaan Settiyabonga yang sedang duduk di motor. Pria itu melambaikan tangannya. Bertemu lagi ia dengan Settiyabonga. Dunia sempit sekali. Kenala sedikit meracau.
Settiyabonga mengemudikan motornya yang semula berlalu dari Kenala. Pria itu mengulas senyum manisnya.
“Mau ke mana malam-malam seperti ini?” Settiyabonga meluncurkan pertanyaannya.
“Mau ke kafe dekat sini. Kamu dari mana?” Kenala menunjuk arah kedai kopi yang ingin ia datangi.
“Aku baru pulang bekerja. Mau aku antar? Sekalian aku juga ingin minum kopi di kafe,” ujar Settiyabonga.
“Boleh-boleh.”
“Kalau begitu ayo naik!”
Tidak ada penolakan dari Kenala. Ia memilih naik ke motor Settiyabonga. Setidaknya ia tak lelah berjalan ke kedai yang masih beberapa langkah darinya itu. Kenala mengeratkan jaketnya usai udara dingin menyapu kulitnya.