Arjuna menghentikan mobilnya di sebuah kedai kopi tepat pukul 20:00. Ia merasa amat lelah, mungkin karena ia menghabiskan banyak tenaga untuk menemani I We Cimpau ke Ambarukmo Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Yogyakarta.
Tak banyak yang ia lakukan bersama I We Cimpau, hanya berkelilling dan perempuan itu membeli beberapa barang. Setelah itu, ia mengajak I We Cimpau untuk makan siang bersama. Satu keanehan yang Arjuna tangkap sesaat lalu adalah gelang yang dikenakan I We Cimpau, gelang yang berwarna kelabu dan bersulur emas. Melihat gelang yang dikenakan I We Cimpau ingatannya jatuh pada I We Cudai, perempuan yang ada di mimpinya. Namun mengapa gelang itu ada pada I We Cimpau?
Arjuna tiada henti memikirkan hal itu, mungkin karena itulah ia merasa teramat lelah. Ia juga baru saja menghabiskan waktu untuk bertemu dengan editornya, membahas novel terbarunya. Sebenarnya, Arjuna mungkin membutuhkan istirahat. Namun, matanya enggan menutup.
Arjuna menginjakan kaki di dalam kedai kopi. Suara riuh orang-orang seketika menyapa indera pendengarannya. Setiap tempat penuh, tiada kursi kosong. Ia memilih mengitari kedai kopi tersebut, berharap ia dapat menemukan satu tempat yang masih kosong.
Agaknya kedai kopi selalu menjadi tempat nongkrong yang pas bagi orang-orang. Selain tempat nongkrong, kedai kopi juga sering digunakan untuk mengerjakan tugas. Arjuna dapat melihat orang yang masih dengan hodie kampus berjajar sembari menghadap laptop.
Netra Arjuna menggerilya setiap tempat di kedai kopi tersebut dan pandangannya jatuh kepada seorang yang sedang duduk di sudut kedai sendirian. Seorang perempuan yang matanya tak jemu memandang laptop, sedangkan tangannya tiada jemu menyentak keyboard.
Senyum Arjuna merekah sempurna seperti bertemu dengan cinta sejatinya. Pandangan matanya juga menjadi lebih berbinar dan entah mengapa rasa lelah juga lemas yang ia rasakan sebelumnya pudar. Bagaimana bisa hanya memandangnya dapat membuat Arjuna merasa lebih baik? Bagaimana bisa hanya memandangnya dapat membuat perasaan Arjuna mengembang, seperti adonan yang telah diberi ragi?
Kenala Hadi, sudah teramat lama sekali ia tiada jumpa intens dengan perempuan itu. Pagi harinya, ia memang bertemu dengan Kenala namun hanya sebatas bertemu. Tiada sapa yang dilontarkan oleh perempuan itu untuknya. Senyum pun agaknya terpaksa.
Sejak terakhir kali Kenala menginjakkan kaki di kediamannya, sejak saat itu juga Kenala tak lagi masuk ke kediamannya. Ia hanya jumpa I We Cimpau yang berulang kali mengetuk pintu lalu menyantap makan bersamanya. Sesekali, ia bertanya kepada I We Cimpau perihal Kenala yang tak pernah ikut ke rumahnya. I We Cimpau selalu mengalihkan pembicaraan dan hanya mengatakan bahwa Kenala sibuk.
Mungkin memang benar jika Kenala sibuk, sesekali ia juga jumpa Kenala pulang larut diantar oleh seorang pria yang tak ia ketahui namanya. Diam-diam ia selalu menunggu kepulangan Kenala dari balkon kediamannya, memastikan bahwa perempuan dari tanah rantau itu baik-baik saja. Setidaknya melihat Kenala baik-baik saja sudah cukup baginya.
Kadang kala, Arjuna merasa heran dengan dirinya sendiri yang sedikit berlebihan mengamati Kenala. Entahlah, dunianya yang semula berpusat pada mimpinya, kini berubah berpusat pada Kenala Hadi. Seolah ia mendapatkan tarikan magnet yang kuat dari perempuan berdarah Bugis itu.
Langkah panjang Arjuna menghampiri Kenala yang tengah fokus dengan layar laptopnya itu. Senyuman tulusnya tiada lepas dari bibir Arjuna.
"Ekhem!" Satu deheman kuat Arjuna menyentak Kenala, menggugah fokusnya.
Manik Kenala melebar sempurna hingga bulu mata lentik itu tampak jelas. “Eh? Kak Juna?”
“Boleh duduk di sini? Kebetulan tidak ada kursi dan meja yang kosong lagi.”
Kenala meniti setiap meja dan kursi di kedai kopi tersebut, memastikan apa yang diutarakan oleh pria berdarah Jawa itu. “Boleh-boleh,” pungkas Kenala usai ia tak dapati kursi dan meja yang kosong.
“Terima kasih.” Senyum Arjuna mengembang, ia menarik kursi kosong yang ada di hadapan Kenala. Duduklah Arjuna berhadapan dengan Kenala Hadi. “Kamu sering di sini, Nala?”
Kenala mengangguk dengan cepat. “Kalau mengerjakan di kos, aku kebanyakan tidur, Kak. Tidak selesai-selesai tugasku,” timpal Kenala.
Pria bernama lengkap Arjuna Sakala Nimas itu menguarkan kekehan kecilnya, lalu manggut-manggut seolah tahu betul apa yang Kenala rasakan. “Dulu aku juga seperti itu. Tarikan kasur lebih berat daripada tarikan laptop.”
Kenala turut terkekeh mendengarnya hingga menampilkan deretan giginya yang rapi. Netranya pun ikut menyipit sempurna bak bulan sabit. Sekali lagi Arjuna merasa tak asing ketika melihat mata menyipit Kenala.
“Omong-omong kenapa tadi tidak ikut denganku dan We Cimpau?”
Kenala mengerutkan keningnya heran. Tanda tanya besar menggantung di benaknya. Tidak ikut? Memangnya Kenala diajak?
“We Cimpau tidak mengajakmu, ya?” Arjuna kembali bertanya usai melihat wajah bingung Kenala.
Ia sontak menggeleng. “Aku tadi ada kelas pagi, Kak. Memangnya Kak Juna mengajak ke mana?”
“Aku sudah mengatakan kepada Cimpau untuk mengajakmu juga. Kita keluar sama-sama. Hanya sekadar berjalan-jalan di Ambarukmo Plaza sekaligus makan siang.”
Kenala tiada bergeming. Wajah kecewa tercetak jelas dan hal itu berhasil ditangkap oleh Arjuna. “Lain kali aku akan mengajakmu,” pungkas Arjuna.