I We Cimpau menyambar tasnya. Ia juga bawa gelang kelabu yang memiliki sulur emas milik Kenala. Ia berniat mengembalikannya sembari melenggang ke kampus untuk kelas paginya. Kamar Kenala dan kamarnya hanya berjarak beberapa langkah. Kamar Kenala tepat di samping tangga, sehingga ia memutuskan mampir lebih dahulu sebelum menuruni anak tangga demi anak tangga itu.
Sepi, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kamar Kenala. Tiada suara sedikitpun. Biasanya, I We Cimpau mendengar deru kipas dan suara musik. Kenala suka sekali mendengarkan musik ketika pagi hari, katanya untuk meningkatkan mood. Lampu kamar Kenala juga masih padam. Apa Kenala belum bangun? I We Cimpau bertanya-tanya.
"Nala? Kenala?" I We Cimpau memanggil Kenala, sesekali diketuk pintu kamar Kenala. Namun tiada sahutan sedikitpun.
"Apa dia tidak pulang ke kos?" I We Cimpau melirik ke rak sepatu. Tak ada sepatu yang biasa Kenala pakai. Ia ingat betul bahwa Kenala selalu suka memakai sepatu hitam yang berbahan dasar kulit sintetis. "Kalau dia tidak pulang? Dia menginap di mana?" I We Cimpau kembalibertanya-tanya.
"Sudahlah, bukan urusanku." I We Cimpau akhirnya memasukkan kembali gelang giok itu ke dalam tasnya. Ia melenggang menuruni tangga. Langkah jenjangnya membawanya keluar dari kos.
Baru selangkah I We Cimpau berada di luar gerbang kos, netra elangnya menangkap keberadaan Kenala yang baru saja keluar dari kediaman Arjuna. Mengapa Kenala berada di rumah Arjuna? Apakah Kenala menginap di sana? Pertanyaan demi pertanyaan mengelilingi benak I We Cimpau. Api mulai membakar perasaannya. Kecemburuannya meluap-luap bak lava panas. Apalagi ketika ia lihat Arjuna dan Kenala yang tampak akrab dan tertawa bersama. Bagaimana keduanya bisa dekat? Apa yang membuat keduanya akrab? I We Cimpau kembali dilanda tanya.
I We Cimpau kembali ke balik gerbang. Ia menyembunyikan dirinya setelah ia lihat Kenala hendak melenggang ke kos. I We Cimpau menetralkan perasaannya dan menepiskan kecemburuannya itu.
Ketika derap kaki mendarat di indera pendengaran I We Cimpau, barulah ia buka kembali pintu gerbang kosnya. Netranya beradu dengan netra Kenala yang rupanya perempuan itu pun baru tiba.
"Loh, Nala? Dari mana? Ini masih pagi." I We Cimpau menyapa disusul mengulas senyum tipisnya.
"Hanya dari luar. Kamu akan ke kampus? Hati-hati ya! Aku ke kamar dulu, ingin istirahat." Kenala tanpa pikir panjang meninggalkan I We Cimpau yang masih mematung di depan gerbang.
Netra I We Cimpau memicing. "Aneh sekali. Dia tidak berbohong, kan?" I We Cimpau bertanya-tanya untuk kesekian kalinya.