Kenala menarik kedua sudut bibirnya ketika netranya beradu dengan netra Arjuna. Di dalam ruangan yang terbalut cat putih gading dan dilengkapi tirai merah manggis, dua tangan Arjuna menangkup menyentuh pipinya. "Aku ingin bertanya satu hal, Rembulanku. Katakan kepadaku, apakah kamu memang berpacaran dengan Settiyabonga?"
Kenala tak menimpali sepersekian detik dan malah balik bertanya. "Kalau iya memangnya kenapa, Kak?"
Wajah serius Arjuna berubah semakin serius. Tatapannya berubah menjadi sendu. "Jadi, apa yang kamu katakan kepadaku di kafe waktu itu benar? Kamu benar-benar berpacaran dengan Settiyabonga?" Arjuna panik bukan main.
Kenala akhirnya melepaskan tawa yang sudah ia tahan beberapa detik. Melihat wajah sedih Arjuna benar-benar menggelitik perutnya. "Tidak, Kak! Tidak! Aku tidak berpacaran dengannya!" Akhirnya Kenala berucap jujur.
Arjuna menghela napasnya panjang. Pria itu bahkan menyandarkan dirinya pada bantalan kursi kayu. "Astaga, kamu hampir membuat jantungku lepas. Bagaimana aku bisa melanjutkan kehidupan jika Rembulanku telah diambil orang lain?"
Kenala terkekeh tiada dosa. Ia cubit pelan lengan Arjuna. "Berlebihan sekali."
"Aku sudah berjanji kepadamu untuk selalu bertemu dan bersama di jika terlahir kembali bukan? Aku akan merasa gagal jika aku tidak bisa menepati janji itu, Rembulanku." Arjuna kembali mengikis jarak dengan Kenala. Ia sentuh pipi putih gading Kenala. "Jangan membuatku hidup seorang diri tanpa kamu di dunia yang menyebalkan ini, Nala." Wajah Arjuna kembali serius, tak ada keraguan yang terpancar dari kedua netra terangnya itu.
"Kita akan hidup sama-sama, Kak."
Senyum Arjuna lepas landas dan kembali digenggamnya tangan Kenala. " Aku pernah mengatakan kepadamu bahwa aku akan menceritakan satu cerita terakhir jika kita bertemu lagi. Jadi dengarkan cerita terakhirku ini, Kenala. Apakah kamu mau menjadi pendamping hidupku, Kenala Hadi?"
"Aku ingin, kamu dan aku menjadi penutup cerita dari setiap yang kita lalui di mimpi."
Kenala tertegun, kedua sudut bibirnya terangkat begitu manis. Lalu bulir bening lepas landas dari tempatnya. Ia kembali mengingat mimpinya perihal Sawerigading. Pria itu akan menceritakan cerita terakhir sebagai penutup dan ia dengar cerita itu saat ini.
Tak ada penolakan dan tak ada keraguan, Kenala mengangguk mengiyakan. Hingar-bingar di wajah Kenala begitu jelas. Kebahagiaan yang selama ini ia nantikan akhirnya terjadi juga. Ia bertemu dengan pria yang selama ini mengalami mimpi yang sama dengannya, Arjuna Sakala Nimas.
Arjuna membawa Kenala dalam dekapannya erat. Kebahagiaan keduanya benar-benar terpancar dan bersamaan dengan itu cahaya bulan purnama yang terang menyibak sela-sela jendela juga tirai kediaman Arjuna. Sinar bulan purnama itu seolah menjadi restu teruntuk Arjuna dan Kenala.
Kenala tak jemu tersenyum seorang diri di atas ranjang. Ia menutup wajahnya dengan bantal, sedangkan kakinya sesekali terhentak-hentak di kasur. Ingatannya benar-benar membawanya pada saat ia bersama dengan Arjuna, saat ia menginap di kediaman Arjuna. Tak Kenala sangka bahwa ia akan dapat pengakuan cinta secepat itu.
Semua keinginannya menjadi kenyataan? Kenala mencubit pipinya, berharap bahwa ia tak mimpi lagi kali ini. Ia sudah jengkel dengan semua yang ia rasakan hanyalah mimpi semata. "Auw!" Kenala kesakitan dan itu tandanya bukan mimpi. Kenala memekik bahagia.