Settiyabonga baru saja mengemasi tas juga buku-bukunya. Ia sudah menghabiskan hampir seharian di kampus hanya untuk mengurus revisi tesisnya. Cukup melelahkan. Ia bahkan menghabiskan dua bungkus nasi ayam geprek untuk mengisi tenaganya yang terkuras itu.
Setttiyabonga beranjak dari perpustakaan fakultas. Ia tinggalkan pemandangan yang hanya berisi buku-buku berjajar. Ia tinggalkan aroma pengap dan suara deru AC yang sedikit mengganggu. Ketika ia tiba di luar dan terpapar cahaya matahari sore, ia menghela napasnya lega.
"Rasanya seperti sudah tidak melihat dunia luar selama bertahun-tahun saja." Settiyabonga terkekeh ringan menghibur diri setelah berkutat dengan tesis yang tiada habisnya.
Langkah panjang Settiyabonga melenggang. Ia tinggalkan perpustakaan fakultas. Belum sempat ia melangkah jauh, pandangannya tertuju pada Kenala. Perempuan itu baru saja keluar dari kelas. Dengan dress satin setumit berwarna merah jambu kian membuat Kenala menggemaskan di matanya. Senyum Settiyabonga bahkan terlukis sempurna hanya dengan menatap Kenala di kejauhan.
"Kenala!" Settiyabonga sedikit memekik, menghentikan langkah Kenala yang berseberangan dengannya.
Kenala yang ada di seberang melambaikan tangannya. Senyum cerahnya benar-benar menghalau rasa lelah Settiyabonga. Entah ke mana perginya lelah akibat urusan tesis itu.
Settiyabonga mengurungkan niatnya untuk beranjak pulang. Ia putuskan menghampiri Kenala lebih dahulu. "Baru selesai kelas?" tanyanya.
Kenala mengangguk cepat. "Ada kelas sore."
"Ada kelas lagi?"
"Tidak, hanya ada satu kelas hari ini."
"Oh, kalau begitu ayo pulang sama-sama. Kebetulan sekali aku sudah lama tidak mengajakmu pulang sama-sama."
Kenala tak menimpali. Perempuan itu memilih menatap layar ponselnya. Tak ada pesan dan tak ada panggilan suara. "Sebenarnya aku akan dijemput Kak Arjuna, tetapi entah sampai sekarang dia belum mengabari," ujar Kenala.
Settiyabonga menghela napasnya sejenak. "Kamu sudah berpacaran dengan dia ya?"
Tanpa basa basi Settiyabonga menodong Kenala dengan pertanyaan yang sejak sesaat lalu menghujani benaknya, bahkan membuatnya tak bisa tenang mengerjakan tesis.
Kenala kembali mengangguk mengiyakan. "Maaf, ya."
Settiyabonga mengerutkan keningnya. Ia terkekeh ringan. "Untuk apa meminta maaf, Kenala? Itu pilihanmu. Aku memang mencintaimu, tetapi aku tidak berhak meminta balasan cinta darimu. Aku tidak ada kehendak untuk memaksa cintamu ditujukan kepada siapa dan aku akan bahagia jika kamu juga bahagia dengan pilihanmu." Settiyabonga menepuk pelan pundak Kenala.
"Ya, meskipun aku juga sedih, sih!" imbuh Settiyabonga. "Ditolak perempuan Bugis lagi," tambahnya yang seketika membuat Kenala mencebikkan bibir.
Settiyabonga menguarkan tawa renyahnya. Ia mengusak surai legam Kenala. "Hanya bercanda. Sekarang ayo, kita tunggu Arjunamu itu di depan. Ada kursi kosong di sana."
Beranjaklah lebih dahulu Settiyabonga dari hadapan Kenala. Ia melenggang ke sebuah kursi berwarna hitam. Ia mengajak Kenala duduk di sana, tepat tak jauh dari pintu keluar fakultas.
Setelah sekian lama akhirnya Settiyabonga kembali berhadapan dengan perempuan yang dicintainya itu meski tak bisa ia dapatkan. Ya, setidaknya memandang Kenala sudah cukup baginya. Settiyabonga kembali bergurau ringan dengan Kenala, meski perempuan itu sesekali memeriksa ponselnya. Wajahnya sedikit risau dan Settiyabonga tahu karena apa kerisauan Kenala.