Kenala membuka netranya perlahan-lahan. Ia rasakan kepalanya sedikit berat. Ingatannya jatuh ketika ia pingsan di dekapan Settiyabonga usai membaca goresan tinta dari Arjuna di sebuah gulungan kertas setengah basah. Sekarang, ia dapati dirinya telah terbaring di ruang perawatan.
"Nal?" Suara Settiyabonga menyapu indera pendengarannya. Ia dapati Settiyabonga yang duduk di sebuah kursi, tepat di tepi ranjang.
"Settiyabonga? Bagaimana keadaan Kak Arjuna? Apakah dia sudah siuman?"
Settiyabonga menggeleng dengan cepat. "Pikirkan dahulu dirimu untuk kali ini, Nala. Arjuna akan baik-baik saja, percayalah kepadaku."
"Bagaimana aku bisa tenang, Settiya. Kak Arjuna seperti karena aku."
"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Kenala!" Settiyabonga menekan ucapannya dan menaikan suaranya satu oktaf.
Kenala manggut-manggut sedikit takut. Untuk kali pertama ia lihat Settiyabonga menaikkan intonasi suara ketika berbicara dengannya. Lantaslah, ia berusaha menyisihkan nama Arjuna sekaligus menyisihkan kerisauan di dadanya itu.
"Sorry." Settiyabonga berujar lirih. Pria itu lantas duduk lagi di kursinya. "Istirahatlah. Aku akan memberimu kabar jika Arjuna sudah siuman."
Kenala berdehem singkat. Ia membiarkan Settiyabonga beranjak dari hadapannya. Ia tahu Settiyabonga juga butuh waktu untuk menenangkan dirinya apalagi setelah mengurus dirinya.
Nala menarik udara dalam-dalam, mengisi rongga dadanya. Ingatannya kembali jatuh ketika Arjuna selalu mengatakan kepadanya bahwa pria itu akan selalu menyelamatkannya di mana pun ia berada dan ketika hal buruk terjadi. Lalu bisakah kali ini Kenala yang mengatakan hal sebaliknya? Meski ia tahu bahwa ia pun tak bisa melakukan hal apa pun untuk Arjuna.
Sehari, dua hari, Arjuna tak kunjung siuman juga dan kian resah hati Kenala. Ia sudah berajak dari ruang perawatan. Ia telah pulih seperti sedia kala. Namun, Arjuna masih berada pada tempatnya dan masih berada di kondisi yang sama.
'Apakah kamu betah tidur seperti itu, Kak?' Kenala bertanya-tanya sembari menatap ruang ICU.
Katanya kehidupan memang sudah lekat dengan yang namanya ujian. Jika tidak ada ujian maka tidak hidup namanya. Namun, bagaimana jika ujian itu datang begitu beruntun? Kenala harus melihat kekasihnya yang dirawat di ruang ICU dan tiada kunjung membuka netranya. Lalu sang ibu, perempuan yang melahirkannya itu juga terlibat sebuah kecelakaan di jalanan Makasar. Ibunya dikabarkan patah tulang dan harus duduk di kursi roda. Hancur sudah hati Kenala, dua orang yang disayanginya sedang tidak baik-baik saja. Saat itulah Kenala harus membuat pilihan. Apakah ia harus meninggalkan Arjuna yang belum siuman? Ataukah ia memilih terbang ke Makasar untuk melihat ibunya?
"Pergilah! Temui ibumu! Dia pasti membutuhkanmu, Kenala. Aku akan menunggu Arjuna di sini. Aku akan mengabarimu jika dia sudah siuman." Settiyabonga menawarkan.
Berat sebenarnya bagi Kenala untuk meninggalkan Arjuna, tetapi ia sadar betul bahwa ibunya lebih membutuhkannya. Perempuan paruh baya itu yang melahirkannya hingga merawatnya hingga dewasa.
Akhirnya Kenala memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta juga Arjuna. Ia mengambil penerbangan sehari setelah kabar bahwa ibunya mengalami kecelakaan. Ia membiarkan Settiyabonga menjaga Arjuna, ia tahu betul bahwa sahabat baiknya itu dapat diandalkan. Kenala hanya berharap bahwa pria yang dicintainya itu dapat segera membuka netranya.
***
Kenala kembali menginjakan kakinya lagi di tanah Makasar. Ia hirup udara di kota kelahirannya untuk kali pertama setelah sekian lamanya. Baru beberapa bulan ia tinggalkan tanah Makasar, tetapi kerinduan telah menderanya.
"Non Nala, ini langsung ke rumah sakit atau mau pulang dulu ke rumah?" Pertanyaan Pak Joko, sopirnya itu menyapu indera pendengaran Kenala.
"Langsung ke rumah sakit ya, Pak. Nala ingin tahu kondisi Ibu."
"Baik kalau begitu, Non."
Pak Joko mengemudikan mobil buatan Korea itu menuju ke rumah sakit yang letaknya cukup jauh. Netra Kenala tertuju ke luar jendela, tepatnya pada langit yang sama sekali tak menunjukan cerahnya. Tidak di Yogyakarta dan tidak di Makasar, semuanya sama. Langit dipeluk mendung kelabu, bahkan Kenala dapat lihat rintik telah jatuh di sepanjang jalan beraspal. Apakah serindu itu rintik hujan kepada bumi sampai tiada jeda menumpahkannya?