“Kumohon, hentikan,” rintih anak laki-laki itu memelas, “tolong biarkan aku pergi.”
Namun, tak seorang pun dari mereka yang memedulikannya. Mereka menariknya hingga berdiri lalu terus-menerus ditendang serta dipukuli balok-balok kayu panjang. Sesekali, tinju dilayangkan bergantian ke wajahnya yang sudah memerah.
Darahnya perlahan menyambur dari hidung dan mulut, bercampur keringat yang bercucuran membuat seragamnya basah. Dan sekarang anak itu terkapar lemas tak berdaya—pasrah terhadap apa yang mereka perbuat padanya. Bola matanya berurat merah, berair, serta area sekitar mata tampak membengkak. Matanya menatap ke arah kegelapan di pojok bangunan terbengkalai itu menyadari akan sesuatu.
Pukulan lain melayang ke wajah anak laki-laki itu.
Lalu, matanya menutup pelan.
Satu detik.
Dua detik.