Sang SENIMAN

Ign Joko Dwiatmoko
Chapter #2

Kanvas 2

Lukisan Basuki Abdullah ( Sumber: ragamseni.com )

Pikiran Bayu terbayang wajah ayu dalam sosok Sinta yang disebut oleh gadis satunya lagi. Ia tidak begitu ingat temannya. Satu temannya biasa saja tidak perlu ia ingat. Ia hanya ingat dengan gadis rambut sebahu itu. Tidak biasanya ia memikirkan perempuan. Paling kalau ia pikirkan ya karena kepentingan untuk menjadi obyek lukisannya.

Sudah beberapa cewek ia lukis. Dari yang memakai pakaian lengkap sampai yang tidak pakai selembar bajupun. Alias telanjang. Memang masalah dengan telanjang? Bagi seniman itu biasa. Bagian dari studi anatomi kata dosennya di sekolah seni dulu. Telanjang itu bukan jorok atau sesuatu yang kotor. Bagi seniman itu bagian dari keindahan. Mereka akan membidik tubuh dengan menghapal anatomi secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bagaimana melukis sempurna kalau tidak melihat dengan jelas detail dan subtil. Maka perlu melihatnya dari berbagai pose, berbagai angle, sudut pandang. Melukis itu perlu memakai rasa, insting dan tentunya ketrampilan.

Sampai sekarang Bayu masih selalu mengasah kemampuannya dengan membuat sketsa- sketsa. Tuntutan membuat sketsa semata- mata supaya tangannya tidak kaku dan goresannya menjadi luwes.Bayu menyediakan banyak kertas untuk sketsanya kalau obyeknya kebetulan manusia ia sudah punya obyek tetap. Satunya sebetulnya paling menyebalkan dan ia malas melihatnya akhir- akhir ini.

Namanya Durga. Wajahnya sih cantik badannya bagus namun ia tidak tahan dengan kelakuannya. Sok manja dan selalu mengejar- ngejar dia untuk dinikahi.Ia anak orang kaya. Di Jogja ia nge kost. Asli dari Wonogiri, anak Juragan tanah, Juragan bakso dan jamu.

Di Jogja bapaknya mempunyai beberapa kost – kosan kelas premium, Ada ACnya kamar besar dengan fasilitas Wifi, kamar mandi di dalam. Pokoknya keren untuk ukuran Jogja. Pasti hanya mahasiswi Tajir yang mampu menyewanya.

Nah Itulah inti masalah Bayu. Bukan apa – apa iya memang senang punya cewek banyak duit, punya fasilitas namun, yang tidak sreg baginya adalah karena waktunya banyak tersita untuk pacaran. Kalau pacaran terus kapan berkaryanya. Modal seniman khan karyanya bukan pecicilannya sama cewek. Makanya ia mikir berkali – kali lipat jika ingin menjalin hubungan dengan perempuan, selektif.

Kalau ceweknya suka ngatur dan maunya nyuruh- nyuruh terus itu tanda bahwa masa depannya sebagai seniman akan buram, bisa hancur lebur jadwalnya. Padahal bekerja sebagai seniman yang pertama adalah kenyamanan, yang kedua adalah kenyamanan dan ketiga adalah kenyamanan. Loh, kok alasannya itu saja.

Ia tidak mau saat melukis terus diteriaki pasangannya minta tolong dong Pa beli ini beli itu,minta tolong dong antarkan mau shoping nih di Malioboro. Preeeettt. Kalau lagi nggak melukis sih silahkan njungkir njempalik aku jabanin.

Sebagai seniman ia bergaul dengan siapa saja, ngobrolnya suka kasar – kasar sedikit tapi orang – orang cincailah namanya seniman suka – suka dia. Sesekali minum bir biar segar otaknya, bahkan Bayu pernah mencoba ciu dan topi miring. Hasilnya semalaman ia njengking muntah – muntah. Kapok? Malah nambah. Maaf jangan ditiru!

Bayu menyukai melukis sejak kecil dari SD. Ia memang bukan dari keluarga seniman. Keluarganya petani yang tidak tahu kanvas itu bagaimana bentuknya. Di buku tulis Bayu yang ada bukannya catatan pelajaran, malah coret- coretan dengan berbagai bentuk garis yang kelihatannya ngawur tapi kok enak dilihat. Kadang ia menggambar tubuh badannya kecil kepalanya besar. Matanya seperti mau copot tapi bagus. Apapun coretannya meskipun spontan tampak kelihatan bahwa bakat seninya sudah tampak. Sayangnya ia hanya suka pelajaran menggambar. Pelajaran lain seringkali berwarna warni. Apalagi matematika. Selalu merah merona.

Sebetulnya bukan karena Bayu yang bodoh tapi karena ia hanya menggambar itulah persoalannya. Orang tuanya yang hanya mengenal sawah dan ladang tidak begitu peduli yang penting sekolah. Akhirnya meskipun terseok - seok Bayu bisa sekolah sampai SMP. Setelah SMP lulus orang tuanya memutuskan sekolah di SMK jurusan khusus seni rupa.

Tentu saja Bayu luar biasa senangnya. Itu dunia yang ia idam- idamkan. Ia akan mempunyai banyak teman yang minatnya sama seni rupa. Bagi yang tahu dunia seni rupa pelajaran itu mengasyikkan karena isinya hanya praktek- praktek dan praktek. Berkarya membuat sketsa dan jalan – jalan mencari obyek lukisan. Sukur sukur ketemu cewek yang mau dijadikan model. Soal mereka dikatakan nyentrik eksentrik dan nyeleneh. Ah itu tergantung pribadi masing – masing.

Banyak juga yang bajunya amat rapi, sadar model, sadar penampilan. Ia bisa bertipe seperti seniman Basuki Abdullah yang pakaian, penampilan, kebersihan pergaulan amat diperhatikan. Ada yang bergaya S Sudjojono yang banyak membaca, kritis dan suka menilai karya berdasarkan analisanya yang tajam. Kadang omongannya nylekit, tapi itu sudah wataknya.

Seniman banyak pula yang berambut gondrong bahkan sampai gimbal. Di tahun pertama di SMSR sekolah sebelum diganti menjadi SMK Bayu membiarkan dirinya larut dalam dunianya.Sekolah tidak mempermasalahkan penampilan fisik, Gondrong boleh asal karyanya bagus. Tahun pertama mentalnya diuji apakah kuat menjalani hidup sebagai calon seniman. Tugas prakteknya banyak terutama membuat sketsa, sketsa dan sketsa. Memahami tentang nirmana, pengetahuan dasar estetika dan gambar bentuk.

Hampir tiap hari Bayu begadang sampai menjelang pagi. Paginya bangun dan sekolah, kalau lagi malas dan kantuk berat ya absen saja, yang penting karyanya jadi. Modal awal sebagai calon seniman itu berat dan Bayu harus mampu melewatinya. Bergelas gelas kopi, makanan ringan meskipun kadang harus utang dan ia janji membayarnya dengan modal menggambar wajah dan membuka jasa lukis wajah di emperan Malioboro. Itupun ia harus berbagi hasil dengan preman setempat.

Untuk motivasi diri Bayu membeli beberapa buku biografi tentang seniman Ia beli buku bekas tentang Rembrant, tentang Salvador Dali dan Vincent van Gogh di belakang taman pintar dekat titik nol di jalan Senopati dekat gedung Pos yang menjadi tempat selfie wisatawan. Pulang di kostnya di Patangpuluhan jalan kaki, menenteng kertas, sandal jepit, baju hitam, celana gombrong lusuh yang dicuci seminggu sekali. Apek!

Hampir selama tiga tahun Bayu menjalani hidup seperti gelandangan. Ia jarang naik kendaraan umum. Ke mana – mana jalan kaki, kalau tidak ya pinjam sepeda teman. Pikirnya masa bodoh kata orang. Yang penting bisa sekolah dan berkarya.

Tahun pertama di SMK belum banyak job melukisnya. Ia mengambil jurusan lukis murni untuk nanti sebagai tugas akhir ketika mau ujian akhir di sekolah menengah seni rupa.

Ia mesti mencari gaya melukis yang pas untuk dirinya. Tahun pertama masih mencari cari dan masih berkutat pada teknik teknik dan teknik. Ia masih mencoba dengan teori- teori yang diajarkan gurunya. Ia mencoba aliran realistis, naturalis, yang gampang dipahami orang. Bayu menggambar detail tentang pemandangan alam, obyek bangunan tua yang ada di sekitar Jogja. Dari Taman Sari, Beteng Vredeburg, gedung Sosietet, Bundaran UGM, Rumah sakit mata, Plengkung Gading, Gedung Pos, Keraton, alun – alun utara, alun – alun Selatan, Gedung Bioskop Sobo Harsono. Parang Tritis. Masjid Agung di depan Alun – Alun Utara. Hampir semua sudah dijelajahi termasuk stasiun Tugu dan Lempuyangan.

Lihat selengkapnya