Sang SENIMAN

Ign Joko Dwiatmoko
Chapter #3

kanvas 3

Lukisan Pierre-August Renoir (sumber.impresionists.org)

Pelajaran berharga sebagai seniman ternyata tidak selamanya datang dari sekolah dan kampus. Pelajaran berharga Bayu ternyata karena ia sering bergaul akrab dengan seniman seniman senior Jogja. Ketika ada di pameran di Vredeburg, Gedung Sosietet atau di Bentara Budaya. Ketika melihat lukisan – lukisan mereka proses kreatifnya dan wawasannya tentang seni budaya dan persoalan politik telah membawa Bayu pada satu kesadaran sebagai seniman. Ia mesti menghargai proses pun ujian ujian kehidupan yang membuat kadang ragu apakah ia mampu menghadapi kenyataan bahwa hanya lukisan, karya rupalah yang mampu terus membuatnya hidup. Sementara ia melihat beberapa temannya terjun ke dunia bisnis, membangun galeri dan membuat EO tentang pameran atau pagelaran.

Ada juga teman temannya sewaktu sekolah menengah yang menerima order untuk membuat replika lukisan- lukisan dari seniman terkenal baik lokal maupun internasional. Banyak temannya terlibat dalam bisnis illegal yaitu memalsukan lukisan, membuat karya lukis dari Affandi misalnya sampai susah dibedakan dengan yang asli.

Banyak trik sebenarnya bisa dilakukan agar lukisannya tampak asli. Setelah melalui tahap sketsa, penyempurnaan warna maka mereka kemudian merekayasa warna dan kain seakan – akan berlabel lukisan lama. Lukisan lama dan langka dari pelukis yang sudah lama meninggal itu adalah proyek. Ia tidak bermain dalam koridor idealisme tetapi praktis, hanya karena tuntutan uang dan iming – iming uang harian untuk bisa bertahan hidup sebagai seniman. Kadang seniman tidak bisa mengandalkan diri hanya karena idealismenya ia mesti bertahan. Lalu mengabaikan kesehatan, mengabaikan tubuh yang kurang asupan gizi dan kasih sayang. Seharusnya dunia seimbang tetap harus seimbang sebagai makhluk sosial, sebagai pribadi merdeka dan juga sebagai manusia yang butuh kasih sayang.

Ia sudah melihat tubuh perempuan dalam wujud fisik. Dalam perbedaan kelamin itu kadang muncul hasrat untuk merasakan bagaimana manusia menyatu utuh dalam jalinan cinta, kadang bukan karena cinta hanya hasrat yang berdasarkan suka sama suka.

Bayu, sudah melihat Durga juga Rina dalam arti sebenarnya. Ia melihat keseluruhan tubuh sebagai obyek, tetapi ia belum menemukan cinta yang mampu menggairahkan dan menyempurnakan sebagai lelaki normal. Ia normal, tertarik dan kadang karena suka sama suka Reni menyediakan diri bukan sebagai obyek melainkan juga tempat ia menumpahkan hasrat meskipun bernama cinta.

Rina sendiri sebetulnya sangat menyukai Bayu tetapi Bayu menganggapnya hanya sebagai sahabat. Sahabat yang tahu hitam dan putihnya Bayu. Rina itu penari, temannya sewaktu di Sekolah menengah Ia mengambil jurusan kerawitan dan tari. Sejak awal Rina setia menjadi model untuk mematangkan kemampuan dalam menggambar model. Ia biasa telanjang dengan berbagai pose di kamar kos Bayu. Lalu Bayu membuat sketsa, mencari angle tepat untuk proses berkaryanya.

Wajah Rina tidak cantik tetapi cukup manis dan tidak membosankan. Agak hitam, Cuma kulitnya kencang dan bodinya proporsional. Maklumlah ia penari biasa mengolah tubuh, biasa bergerak luwes maka keseluruhan tubuhnya tampak menarik. Yang cantik itu Durga cuma kecantikan Durga itu lebih karena ia kuat dan punya modal untuk membuat wajahnya menjadi cantik. Tetapi Bayu tahu ada banyak masalah dalam diri Durga. Ia jenis pendendam, pencemburu dan posesif. Pasti tidak cocoklah untuk seniman seperti dirinya yang memprioritaskan kebebasan.

Bayu itu susah diatur tetapi ia akan mudah bergaul dengan siapa saja, tanpa pandang, tanpa melihat status bahkan dengan pengemispun kalau lagi suka ia ajak ngobrol. Bayu pernah mengaku pada Mas Komprang bahwa ia lebih suka Rina jika kepepet harus memilih antara Rina atau Durga.

Tapi selama ini Bayu tidak pernah berpikir untuk menikah. Ia masih ingin bebas mengembangkan diri sebagai seniman. Ia tidak ingin direcoki dengan urusan rumah tangga yang njlimet, Seperti Mas Angin kakak tertuanya yang malah sudah cerai dengan istrinya. Ia masih mempunyai adik Semilir yang masih sekolah di SMP yang harus ia bantu. Ayahnya sendiri sudah meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan, jatuh dari pohon kelapa. Ibunya sekarang agak ngengleng karena kehilangan ayah. Maka Semilir menjadi tanggungjawabnya. Mas Angin sendiri tidak bisa diandalkan karena lebih senang main judi dan mabuk – mabukan makanya istrinya minta cerai.

Bayu mulai memetik hasil dari latihan dan kerja kerasnya dua tahun terakhir. Ada banyak pameran dan permintaan dari kolektor yang datang dari berbagai kota, yang paling banyak dari Jakarta. Lukisan Bayu seperti lukisan beraliran impresionis kata ahli seni. Lebih banyak memanfaatkan pencahayaan dan warna, sedangkan detail bentuk anatomi tidak diprioritaskan. Warna- warnanya berani, imajinasinya hidup sehingga ketika melihat lukisannya lama- lama seperti ada yang bergerak.Dari efek pencahayaan muncul karakter kuat dalam lukisan. Lagipula untuk interior dan koleksi rumah mewah sangat cocoklah. Makanya harga lukisan Bayu pelan- pelan terkatrol naik.

Bayu pun mulai menawar rumah di sebelah studionya untuk memperluas rumahnya. Studionya sendiri awalnya adalah tempat kosnya yang dulu sangat biasa sekali. Dengan bantuan teman- temannya dan dari hasil lukisannya ia mulai mengumpulkan uang untuk membeli rumah itu dengan mengangsur dengan perjanjian lukisannya terjual.

Ia mulai sering datang ke pasar klitikan mencari bekas- bekas barang yang ia bisa padupadankan untuk mendanani rumahnya hingga terkesan antik. Pelan- pelan beberapa kos samping ia bisa ia beli dari hasil lukisan maka pelan- pelan rumahnya menjadi luas, setelah merenovasi pelan- pelan. Kini Bayu nyaman dengan rumah dari hasil karyanya.

Ia memang kejar setoran sebab tahun depan ia akan pameran di Jakarta. Pameran bersama sebelum ia akan menyiapkan diri untuk bisa pameran tunggal di Kota Bandung.Sebuah galeri menawarinya untuk mengadakan pameran tunggal.

 

Dering HP kembali berbunyi Bayu langsung mengangkatnya.

“Bayu, kamu sudah ditunggu cepat ke sini?”

“Oh iya maaf hampir lupa, setelah minum kopi kok malah malas berdiri. Hehehe”

“baik, kalau bisa cepat ya.”

“Santai, Dab”

Bayu kemudian jalan ke samping rumahnya, membuka pintu garasi dan mengeluarkan motor CB nya. Ia menstater motornya. Sebelumnya ia mengunci pintu dan kemudian meluncur ke arah pusat kota. Hotel Garuda tepatnya.

Di Jogja Bayu lebih suka naik motor. Untuk saat ini Jogja yang padat tidak ramah untuk mobil. Maka inilah kemewahan Bayu bisa mengendarai motor tua namun terawat. Ia menikmati Jogja dengan segala keunikannya termasuk perilaku pengendari yang beda dengan kota lain. Boleh saja ngebut di tempat lain tetapi kalau petakilan ya maaf. Paling dihajar masa.

Ia lajukan kecepatan biasa saja 40 kilo meter per jam di jalan sepi dan 20 kilometer per jam pas jam sibuk. Dari Pojok Beteng Kulon, ia jalan menuju arah Pojok Beteng Wetan lewat plengkung gading lurus, Lalu ke kiri lewat jalan Brigjen Katamso lalu Perempatan Katamso lurus melewati hotel Melia Purosani dan  ke arah Kota Baru masuk hotel Garuda lewat jalan belakang.

Itulah istimewanya jalan pelan bisa menghapal jalan. Bayu memarkir kendaraan lalu jalan menuju lobi hotel. Ia pun ke loby dan bertanya pada petugas.

“Mas, Mau ketemu orang bernama Prabu… ia nginap di sini kata teman saya.”

“Oh sudah ditunggu di Malioboro Coffe shop Grand Inna. Silahkan sudah kelihatan dari sini."

Lihat selengkapnya