Melesap sepucuk bunga dari bumi,
tinggalkan semua yang mengagumi.
Tok Tok Tok Tok Tok!
Brutal daun pintu kontrakan ku diketuk kasar. Terdengar seperti sedang kesetanan siapa pun yang ada dibaliknya. Terbirit-birit langkah menuju ruang depan, tanpa peduli kalau sarung masih membungkus setengah badan. Sebelum membuka pintu sembarang, ku intip siapa tamu kurang ajar yang bertandang.
“Woy, cepat buka!” Bang Jalu rupanya, ditunjuknya pintu didepan. Wajahnya nampak serius, ditambah seorang wanita lebih dari setengah abad terlihat sedih sedang berdiri di sebelahnya.
Selot kunci ku tarik, agar mereka bisa segera masuk. Rupanya si tamu ini mandiri sekali, pintu dibuka sendiri dan langsung masuk ke dalam. “Kemari, Mbah. Kita harus bicara didalam.”
Aku yang masih bingung hanya membiarkan si tuan bertindak seenaknya. Bukan orang asing tentu saja, hanya memang wataknya sudah begitu sejak lama. Ku perhatikan sekali lagi wajah perempuan tua yang dibawanya lalu baru teringat, ternyata itu Mbah Djum.
“Gi, ambil air. Kasih Mbah Djum minum, trus duduk sini kita ngobrol.” ujarnya sembari menutup pintu rapat-rapat dan mengunci kembali selotnya.
Aku menurut saja, berjalan kembali ke dapur dan ambil air dua gelas untuk tamu mengejutkan pagi ini. Dalam hati penuh tanya, untuk apa Bang Jalu datang pagi-pagi di akhir pekan begini, ditambah lagi membawa Mbah Djum? Memang-nya ia sedang libur jualan?
“Lambat kali kau, Gi, macam siput sawah!” protesnya setelah ku letakan dua gelas air di meja tengah, yang tentu saja ku abaikan.
Bergegas aku menuju kamar untuk berganti, rasanya tidak sopan menjamu tamu hanya dengan sarung melingkar di badan. Lalu, Aku duduk bersampingan dengan Bang Jalu, Mbah Djum bersebrangan dengan kami. Isi kepala ku mulai berasumsi, ada sesuatu yang sedang tidak beres disini. Bang Jalu datang selalu dengan cerita baru, tidak sekali pun ia datang hanya untuk sekedar mampir.
“Ada apa ini, Bang?” tanyaku menanti jawab.