Siang ini aku berkunjung ke kos Bang Jalu, setelah beberapa hari sebelumnya mencari informasi perihal menghilangnya Yuni. Kamarnya sudah dipenuhi dengan Poster-poster dan karton yang bertuliskan seruan untuk mengembalikan Yuni. Tulisan-tulisan seperti; ‘DIMANA YUNI?’, ‘KEMBALIKAN YUNI’, ‘LINDUNGI BURUH, BUKAN PESURUH’,’YUNI DILAHAP TIRANI’, sudah memenuhi bilik kos-nya yang hanya sepetak itu.
Tidak ketinggalan poster Che Guevara (Yang sudah menjadi lambang pemberontakan terhadap penindasan kaum pinggiran itu sendiri) juga menempel di dinding kamarnya. Ku lihat rak buku di pojok ruangan yang berisi penuh dengan buku-buku sastra dan sejarah yang tertumpuk sembarang. Tidak tampak debu barang sedikit di sela-sela mereka, bisa jadi karena Bang Jalu rajin sekali membaca atau sering dibersihkan.
Cerita hilangnya Yuni sudah menyebar dikalangan buruh dan para pelaku usaha kecil. Mereka marah, murka, dan merasa semesta tidak pernah berpihak pada yang lemah. Bang Jalu saat itu sebagai Ketua Aliansi Pemuda Peduli Indonesia yang terdiri dari Mahasiswa dan Buruh, pengaruhnya cukup besar di komunitas para pekerja industri dan pedagang usaha kecil. Namanya sering didengar di sudut-sudut Jakarta, dukungan dari golongan yang ia bela juga besar.
“Yakin lo, Bang, mau aksi tanggal 12 besok?” tanyaku khawatir.
Bang Jalu yang tadi sedang merapikan tumpukan karton berhenti, dan duduk bersebrangan denganku. “Nanti aku ke sana baik-baik dulu, Gi. Minta mediasi untuk bicara langsung dengan si pemilik pa brik. Tapi aku yakin si cunguk itu, nggak akan dia keluar.”
Aku menghela nafas, “Nggak takut lo, Bang? Kita kan nggak pernah tau apa aja yang akan mereka lakuin buat bungkam kita. Jakarta ini Kota Gila, bang!”
“Dunia yang sudah Gila, Gi! kalo kita selalu takut untuk menuntut hak, gerigi sepatu mereka semakin siap bertemu wajah kita.” logat timurnya kental sekali.
"Bang," aku menjeda, menghela nafas berat karena khawatir yang luar biasa. "Bukan cuma gerigi sepatu, peluru juga bisa kapan saja bersarang di dada kita. Sekali lagi gue tanya, lo yakin?"
"Kalaupun aku mati, kebenaran tak pernah mati, Gi. Dia akan berlipat ganda!" dia malah tersenyum bangga. 𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘨𝘪𝘭𝘢, pikirku. Aku hanya menggelengkan kepala, tidak mau mendebat prinsipnya itu.
Bang Jalu ini blasteran, Bapaknya orang Bandung dan Ibunya orang Flores. Ayahnya memilih tinggal di Larantuka bersama Mama Ella di Flores Timur sana dan bekerja sebagai guru. Bukan hanya sekali dua kali Bang Jalu mengutip kalimat-kalimat bijak Ayahnya yang sangat mencintai bangsanya sendiri.
Mungkin sifat itu yang menurun padanya dan awet hingga sekarang. Tapi, saat Bang Jalu usia 12 tahun Ayahnya wafat, tinggalah Ia bertiga dengan Mama Ella dan Adiknya. Yah, Setidaknya begitu ia pernah cerita.
Ia juga mantan aktivis di kampusnya tiga tahun lalu sebelum akhirnya mendirikan organisasi APPI bersama dua kawan lainnya, Nabilla Salma dan Mahendra Gunawan. Kegiatan yang dilakukan APPI pun beragam, mulai dari menyalurkan bantuan sosial hingga mengawal Buruh, Para Petani dan Mahasiswa untuk menuntut hak dan aturan-aturan yang di nilai kurang tepat.
Aku kemudian menunjuk tumpukan karton dan poster yang berisi wajah Yuni dengan dagu, “Banyak yang mau ikut?”