Sangkar Duri

Tiri Tirtha
Chapter #3

Rekam Jejak

Tidak perlu ilmu tinggi untuk menjadi manusiawi.


Hari yang dipersiapkan sudah tiba. Langit seolah turut hadir mengawal misi humanis kami hari ini, cerah, terang benderang. Malah kataku sih, panas sekali. Kumpulan manusia yang berdiri di depan gedung dengan poster-poster yang berisikan kata-kata provokasi jumlahnya melebihi perkiraan kami. Berita tentang dugaan ko rup si P T. Selaras Abadi yang muncul di minggu pagi membuat bertambahnya massa yang semakin membludak.


Barisan paling depan di isi oleh para pria yang seusia dengan Bang Jalu (Akhir 20an), mereka memegang banner panjang bertuliskan, ‘DIMANA KAWAN KAMI? JANGAN MATIKAN SUARA BU RUH!’ atau seperti, ‘TINDAK TEGAS CURUT BERINGAS!’. Jauh dibelakang terdiri dari orang-orang yang lebih tua, mereka juga memegang poster yang tidak begitu besar. Lalu di lingkar luar ada para Muda-mudi yang menjaga baris agar tetap aman dan kondusif.


Ikatan tali sepatu ku kencangkan, kerumunan masih terpantau cukup aman sejak jam sebelas tadi. Kamera sudah ku siapkan, talinya sudah melingkar di leher ku. Aku sempat ambil beberapa gambar pagi tadi. Ransel ku kencangkan, bersiap untuk guncangan yang tidak terencana. Ku lihat Bang Jalu berjalan menghampiriku yang masih melipir di bawah rimbun pohon.


“Nggak tembus kita, Gi.” ia menggeleng dan ku sambut dengan menggangguk.

“Pastilah, Bang. Mana mau mereka med iasi.” kataku seolah sudah tahu apa yang akan terjadi.

“Plan B lah kalau gitu.”


Usai mengatakan itu Bang Jalu berlarian menerobos kerumunan, manusia sebanyak itu ia belah begitu saja. Aku juga ikut melebur lebih dekat, mencari spot paling strategis untuk mendapat gambar dan momen di garis depan. Rekan-rekan media juga sudah siap di sekitar lokasi, beberapa sudah ada yang mulai melakukan siaran langsung.


Nyanyian yel-yel dan riuh kerumunan mulai terdengar nyaring dan semakin bersemangat. Mereka tau pemimpinnya kini telah memberi tanda untuk maju. Mobil-mobil aparat T N I dan Poli si sudah sejak pagi berdatangan di sekitar lokasi, pasukan sudah diturunkan. Mereka berdiri tegap menjaga pintu tinggi sebagai batas antara Suara kami, para Rakyat dan Borjuis yang berkuasa dibalik sana. Derap langkah mereka seolah meminta kami untuk pergi, seolah menakuti untuk jangan melangkah lagi kalau belum mau mati.


Namun mereka tak gentar, bendera-bendera organisasi, dan negara berkibar gagah. Semesta seolah tahu tugasnya untuk mengirim angin agar semua bendera kebanggaan kami selalu berkibar. Bang Jalu dan rekan-rekannya berdiri paling depan, memegang toa dan bersahut-sahutan dengan seorang kawan Aktivis Kemanusiaan lain untuk meneriakan orasi milik Munir Said Thalib dengan beberapa bagian yang diganti;


Mereka Berebut Kuasa, Mereka menenteng Senjata

Mereka menginjak Rakyat, Tapi kemudian bersembunyi dibalik ketek kekuasaan

Apakah kita biarkan orang-orang pengecut itu tetap gagah?

Lihat selengkapnya