Sangkar Duri

Tiri Tirtha
Chapter #4

Di Balik Jeruji

"Pak! Saya ini bukan kriminal, kenapa harus masuk sel segala sih?"

"Kalian awak media lebih berbahaya dari kriminal!"

"Oh, bapak takut? Takut ketahuan ya bobroknya?"

Kuasaku mencengkram keras besi dingin yang jadi pembatas antara aku dan para Aparat di luar sana. Mata ku tajam memandang mereka yang sedang asik menyesap puntung tembakau dan menyentuh kameraku asal. Berusaha menyalakannya dan memeriksa ada apa didalamnya. Sejak kerusuhan siang tadi, aku di tangkap dan semua barangku diambil paksa.

Ponsel, kamera, ransel semuanya ada di atas meja mereka. Katanya harus diperiksa khawatir ada penyelewengan data, apapula maksudnya. Bang Jalu ada di sel yang bersebelahan denganku, mengeluarkan tangannya dari sela besi dan menepuk tanganku yang tadi masih mencengkram jeruji.

“Kenapa kau di sini, Gi?” ia sedikit berbisik. Ku lihat tangannya ada sedikit lebam dan kotor dengan debu juga tanah dari aspal.

“Mereka ambil kamera gue, Bang.” aku menunjuk kamera yang sedang dipegang pria berseragam.

“Kok bisa? Terus ‘rekaman’ kau itu gimana?” Aku bisa dengar Bang Jalu nyaris teriak dengan suara bisikannya yang sedikit mengeras. Pasti yang ia maksud rekaman berisi tentang kesaksian penculikan Yuni.

“Gue rekam mereka pas tendang kepala orang, masih muda. Habis itu kamera gue dirampas, suruh hapus katanya.” jelasku masih memandang tajam pria kumisan berseragam tadi. “dan ‘rekaman’ yang lo maksud gue tinggal di kontrakan.” lanjutku setengah berbisik.

Bang Jalu terkekeh, yang ku balas dengan mata mendelik. “Kok malah ketawa?”

“Mereka takut. Takut Citranya merosot.” tiba-tiba suara perempuan menyambung obrolan kami.

Aku terkejut, “Lho, Mbak Nabilla ke angkut juga??” wajahku kini menempel dengan jeruji, berusaha melihat ke ruang sebelah.

“Padahal kan memang sudah.” kali ini suara pria menyahuti ucapan si nona.

“Lah, Mas Gun?? Mas Gugunn??” panggilku memastikan. Gugun adalah panggilan untuk Mahendra Gunawan.

“Iya, Gi. Kita bertiga semuanya kena.” Nabilla mengkonfirmasi.

“Kalian ini ribut sekali. Mereka juga punya hati, pasti ada yang benar-benar peduli dan bersih.” ia menjeda kalimatnya. “Tapi untuk rekaman yang itu, kita simpan dulu aja sendiri.”

Aku hanya memutar bola mata, jengah. “Bang, polisi jujur di Indonesia hanya ada tiga; Patung Polisi, Polisi tidur, dan Pak Hoegeng.” kataku mengutip perkataan Gusdur.

Lihat selengkapnya