Sanguine

Zsaruma
Chapter #3

#3 Hari Pertama

Aku menatap rumah itu. Rumah bercat abu-abu, dengan gaya Amerika klasik, dan terdapat halaman yang cukup luas.

Mataku ingin menangis lagi saat mengingat pertama kali aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Seolah seluruh kenangan yang terkadang kulupakan kembali terputar dalam pikiranku.

Tanpa aku harus memintanya.

Apa aku sanggup masuk lagi ke dalam rumah itu?

Aku ingin menjawabnya tidak, namun tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku.

Perempuan berambut keriting dengan kulit kuning langsat dan matanya yang selalu memancarkan pesonanya. Perempuan yang masih berteman baik denganku sejak awal aku berkenalan dengannya. Perempuan yang hanya mau dipanggil ‘Alska’, tanpa embel-embel ‘kak’ atau ‘mbak’.

Dan kini, Alska tersenyum menenangkan diriku yang lagi-lagi jatuh ke dalam kesedihan.

Kesedihan yang aku sendiri pun tak tahu, apakah akan berakhir atau tidak?

"Ayo masuk, aku temenin." Ucapnya dengan suara lembut. Aku menganggukan kepala sebagai jawabannya.

Kami berdua berjalan menuju pintu masuk rumah. Sambil berjalan, aku melihat bagian teras rumah, terdapat tiga buah kursi rotan yang tak akan lagi diduduki oleh kami bertiga. Oleh aku, Alska, dan Nenekku.

Aku mendekati salah satu kursi rotan di salah satu bagian pojok teras, kusentuh kursi yang biasanya diduduki oleh Nenek. Aku tak dapat menjelaskan bagaimana aku memandang kursi itu, aku hanya menatapnya tanpa tujuan apapun.

Hanya menatapnya dan berharap, jika Nenekku sedang duduk di sana sambil tersenyum menatapku.

"Mara?" Aku menoleh ke arah Alska dan mengangguk lagi, kemudian berjalan bersamanya sampai masuk ke dalam rumah.

"Kamu mau minum?" Tanya Alska saat aku baru saja menaruh jaket di gantungan dekat jendela ruang tamu rumah Nenek.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban dan memilih masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar, hal yang kulakukan hanyalah duduk sembari memandang ke luar. Lebih tepatnya, aku memandang senja yang bertemankan bulan yang berwarna jingga pula.

Langit jingga yang menyeramkan seolah menjadi mimpi burukku kali ini.

"Mara?" Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Aku mengenali pemilik suara itu, bahkan sangat-sangat mengenalinya.

Namun, yang aku lihat hanya kamarku dan pantulan diriku di cermin.

Aku melihat cermin itu dengan seksama, entah apa yang membuat diriku yakin bahwa suara itu berasal dari cermin itu.

Aku pun tanpa sadar menutup kedua mataku. Berharap suara itu dapat muncul lagi dalam benakku.

Walau suara itu hanya muncul dari pikiranku, aku tak akan mempermasalahkannya. Yang kubutuhkan hanyalah salam perpisahan dari pemilik suara itu.

Aku ingin dia mengucapkan kalimat perpisahan, karena hanya kalimat perpisahan yang dapat membuatku sadar. Bahwa, seluruhnya nyata.

Kehidupanku dan kehidupannya.

Aku ingin ditampar oleh seseorang agar aku sadar, aku tidak hidup dalam ilusi.

"Mara?" Kubuka perlahan kedua mataku, dan sosok itu benar-benar ada pada pantulan cermin.

Namun, saat aku melihat ke sampingku, sosok itu tidak ada. Dia hanya terlihat melalui cermin itu.

Aku tahu, wajahku pasti terlihat jelek saat ini, tapi aku ingin memeluk sosok itu untuk terakhir kalinya. Aku ingin memeluk seseorang saat ini, tapi yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya.

“Bawa aku,” Ucapku begitu saja.

“Untuk apa?” tanya dia.

“Aku nggak tau, tapi… bawa aku.”

“Apa kamu yakin, Nak? Padahal kamu belum menemukan arti kehidupan.”

“Hidup di sini hanya ilusi. Bawa aku, Nek. Aku nggak tahu harus ngelakuin apa tanpa Nenek,”

“Ssshhhh, jika kehidupan itu ilusi. Seharusnya, kematian seseorang juga ilusi. Kesakitkan, kesengsaraan, semua itu ilusi.”

Aku terdiam. Wajahku jatuh ke bawah. Ya, dia benar-benar menamparku kali ini.

“Mara, sampai jumpa.”

“MARA! MARA!”

Mendengar teriakan Alska aku terbangun tiba-tiba, diriku benar-benar terkejut, bahkan saat menarik nafas, aku benar-benar mendengar tarikan nafasku.

Aku merasakan hampir seluruh tubuhku berkeringat, bahkan jika Alska tidak mengusap kedua sudut mataku, aku tidak akan menyadari bahwa aku menangis.

Lihat selengkapnya